Sabtu, 04 Februari 2012

Tanzimat


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kerajaan Turki Usmani muncul di saat Islam berada dalam era kemunduran pertama. Berawal dari kerajaan kecil, lalu mengalami perkembangan pesat, dan akhirnya sempat diakui sebagai negara adikuasa pada masanya dengan wilayah kekuasaan yang meliputi bagian utara Afrika, bagian barat Asia dan Eropa bagian Timur. Masa pemerintahannya berjalan dalam rentang waktu yang cukup panjang sejak tahun 1299 M-1924 M. Kurang lebih enam abad (600 tahun).

Dalam rentang waktu yang demikian panjang kerajaan Turki Usmani mengalami dinamika yang selalu menghadirkan format dan ciri khas yang baru dalam pemerintahan, bahkan merupakan penyelamat dan bebas dunia Islam dari kekacauan yang berkepanjangan terutama di bidang hukum, karena sebagaimana

Diketahui, bahwa pemerintahan Turki Usmani tidak hanya terbatas pada kekuasaan dan wilayah, tapi juga meliputi bidang agama. Pada periode berikutnya, kerajaan Turki Usmani yang berpijak kepada Syari’at Islam mulai bergeser menjadi hukum sekuler, ini terjadi pada akhir abad-19 tepatnya pada era tanzimat (1839-1876) ketika terjadi persentuhan budaya timur (Islam) dengan budaya Barat (Eropa). Era tanzimat merupakan gerakan pembaharuan yang terjadi di Turki Usmani, yang pada hakikatnya berintikan upaya pemerintah Turki Usmani untuk melakukan perbaikan dalam tata aturan perundangan di segala bidang, dan salah satu hukum yang disusun Majallah al-Ahkam al-Adliyahi (1876 M) di samping piagam Gulhane dan Humayun. Untuk mengetahui lebih jauh tentang perkembangan hukum Islam pada masa Turki Usmani makalah sederhana ini mencoba menguraikan, dengan pokok pembahasan; Sekilas tentang Turki Usmani, Sebelum Tanzimat, Era Tanzimat, Majallah al-Ahkam al-Adliyah dan sesudah tanzimat.

BAB II


PEMBAHASAN
TANZIMAT

A. SEKILAS TENTANG TURKI USMANI

Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz5 yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu lebih kurang tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad ke sembilan atau ke sepuluh ketika menetap di Asia Tengah. Di bawah tekanan serangan-serangan Mongol pada abad ke-13 M bangsa Turki dengan dipimpin Artogol melarikan diri menuju dinasti Saljuk untuk mengabdi pada penguasa yang ketika itu dipimpin oleh Sultan Alauddin II.

Artogol dan pasukannya bersekutu dengan pasukan Saljuk membantu Sultan Alauddin II berperang menyerang Bizantium, dan usaha ini berhasil, artinya pasukan Saljuk mendapat kemenangan. Atas jasa baiknya itu Sultan Alauddin II menghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu bangsa Turki terus membina wilayah barunya dan memilih Kota Syukud sebagai ibu kota.

Pada tahun 1289 M Artogol meninggal dunia. Kepemimpinan- nya dilanjutkan oleh putranya, Usman. Putra Artogol inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Usmani, beliau memerintah tahun 1290 M – 1326 M. Sebagaimana ayahnya, Usman banyak berjasa pada Sultan Alauddin II, dengan keberhasilannya menduduki benteng-benteng Bizantium. Pada tahun 1300 M, Bangsa Mongol menyerang kerajaan Saljuk dan Sultan Alauddin II terbunuh. Kerajaan Saljuk kemudian terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil. Usman pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah yang didudukinya. Sejak itulah kerajaan Turki Usmani dinyatakan berdiri. Penguasa pertamanya adalah Usman yang sering disebut Usman I. Dalam perkembangannya, Turki Usmani melewati beberapa periode kepemimpinan. Sejak berdiri tahun 1299 M yang dipimpin oleh Usman I Ibn Artogol (1299-1326 M) berakhir dengan Mahmud II Ibn Majib (1918-1922 M). Dan dalam perjalanan sejarah selanjutnya Turki Usmani merupakan salah satu dari tiga kerajaan besar yang membawa kemajuan dalam Islam.

B. SEBELUM TANZIMAT

Sebagai diketahui Kerajaan Turki Usmani dikepalai oleh seorang Sultan yang mempunyai kekuasaan temporal atau dunia dan kekuasaan spritual atau rohani. Sebagai penguasa duniawi ia memakai titel Sultan dan sebagai kepala rohani umat Islam ia memakai gelar Khalifah.  Dengan demikian Raja Usmani mempunyai dua bentuk kekuasaan, kekuasaan memerintah negara dan kekuasaan menyiarkan dan membela Islam.

Dalam melaksanakan kedua kekuasaan di atas Sultan dibantu oleh dua pegawai tinggi sadrazam untuk urusan pemerintahan dan syaikh al-Islam untuk urusan keagamaan. Keduanya tidak mempunyai banayak suara dalam soal pemerintahan dan hanya melaksanakan perintah Sultan. Dikala Sultan berhalangan atau berpergian ia digantikan sadrazam dalam menjalankan pemerintahan. Syaikh al-Islam yang mengurus bidang keagamaan dibantu oleh qadhi askar al-rumali yang membawahi qadhi-qadhi wilayah Usamniyah bagian Eropa, sedang qadhi askar anduly membawahi qadhi-qadhi wilayah Usmaniyah di Asia dan Mesir. Dalam melaksanakan tugasnya para qadhi tersebut merujuk kepada mazhab Hanafi. Hal ini yang disebabkan mazhab yang dipakai oleh Sultan adalah mazhab Hanafi. Bentuk-bentuk peradilan pada masa ini :
1.Mahkamah Biasa/Rendah (al-Juziyat), yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara pidana dan perdata.
2.Mahkamah Banding (Mahkamah al-Isti’naf), yang bertugas meneliti dan mengkaji perkara yang berlaku.
3.Mahkamah Tinggi (Mahkamah al-Tamayz au al-Naqd wa al-Ibram), yang bertugas memecat para qadhi yang terbukti melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum.
4.Mahkamah Agung (Mahkamah al-Isti’naf al-Ulya), yang langsung di bawah pengawasan Sultan.

Lembaga peradilan (qadha’) pada masa ini belum berjalan dengan baik, karena terdapat intervensi dari pemerintah, bahkan sistem peradilan dikuasai oleh kroni-kroni dan pejabat pemerintah. Jadi belum tampak dengan jelas pemisahan antara urusan agama dan pemerintahan.

C. MASA TANZIMAT (1839-1876 M)

Secara etimologi tanzimat berasal dari kata nazhzhama-yunazhzhimu-tanzhimat, yang berarti mengatur, menyusun, dan memperbaiki[1]. Term ini dimaksudkan untuk menggambarkan seluruh gerakan pembaharuan yang terjadi di Turki Usmani pada pertengahan abad ke-19. Gerakan ini ditandai dengan munculnya sejumlah tokoh pembaharuan Turki Usmani yang belajar dari Barat yaitu bidang pemerintahan, hukum, administrasi, pendidikan, keuangan, perdagangan dan sebagainya.[2]

Tanzimat merupakan suatu gerakan pembaharuan sebagai kelanjutan dari kemajuan yang telah dilakukan oleh Sultan Sulaiman (1520-1566 M) yang termasyhur dengan nama al-Qanuni. Namun pembaharuan yang sebenarnya lebih membekas dan berpengaruh pada masa Sultan Mahmud II (1808-1839 M)[3]. Ia memusatkan perhatiannya pada berbagai perubahan internal diantaranya dalam organisasi pemerintahan dan hukum. Sultan Mahmud II juga dikenal sebagai Sultan yang pertama kali dengan tegas mengadakan perbedaan antara urusan agama dan urusan dunia. Urusan agama diatur oleh syari’at Islam (tasyr’ al-dini) dan urusan dunia diatur oleh hukum yang bukan syari’at (tasyri’ madani)[4]. Hukum syari’at terletak di bawah kekuasaan syaikh al-Islam, sedangkan hukum bukan syari’at diserahkan kepada dewan perancang hukum untuk mengaturnya, hukum yang bukan syari’at ini diadopsi dari Eropa, Perancis dan negeri asing lainnya. Diantaranya adalah al-Nizham al-Qadha al-Madani (Undang-undang Peradilan Perdata). Dengan penerapan al-Nizham al-Qadha al-madani (Undang-undang Peradilan Perdata) dalam peradilan muncul Mahkamah al-Nizhamiyah yang terdiri dari Qadha al-Madani (Peradilan Perdata) dan Qadha-Syar’i (Peradilan Agama )[5]. Dikotomi lembaga peradilan pada masa Sultan Mahmud II memberikan indikasi sudah adanya pemisahan urusan agama dan urusan dunia. Kemunculan tanzimat dilatarbelakangi oleh[6]:
  1. Khusus bidang hokum terjadinya persentuhan hokum barat dan hokum islam
  2. Muncul para tokoh tanzimat yang ingin membatasi kekuasaan Sultan yang absolut[7].

Disamping itu pada masa ini kondisi masyarakat terdiri dari tiga lapisan yaitu:
  1. Tradisional, yang mempertahankan dan membangun pemikiran berdasarkan fiqh dan berpijak pada mazhab yang ada. Karena fiqh dianggap telah mapan dan sempurna sehingga mereka berpendapat mazhab ini harus dikembangkan dan disosialisasikan[8].
  2. Modernisme, yang menawarkan agar fiqh perlu diseleksi dan dikembangkan sesuai dengan kondisi social budaya masyarakat.

  1. Reformasi, melontarkan gagasan, bahwa fiqh yang ada tidak mampu merespon berbagai perkembangan yang muncul sebagai akses perkembangan zaman dan kebutuhan manusia yang multi dimensionalitas. Oleh karena itu diperlukan fiqh baru, yang menafsirkan nash secara kontekstual[9].

Agaknya keadaan masyarakat ini juga mempengaruhi munculnya pembaharuan lebih-lebih lapisan modernisme dan reformasi. Realisasi pembaharuan ini dimulai dengan diumumkannya Piagam Gulhane (Khatt-i Syarif Gulhane) pada tanggal 3 Nopember 1839 M, kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Piagam Humayun (Khatt-i Syarif al-Humayun) pada tahun 1856 M[10]. Gerakan ini terjadi pada masa Sultan Abdul Majid (1839-1861 M) putra Sultan Mahmud II. Piagam Gulhane berisikan berbagai bentuk perubahan yang pada masa permulaan kerajan Turki Usmani, syari’at Islam dan Undang-undang Negara dipatuhi, sehingga negara menjadi kokoh dan kuat. Untuk kembali pada masa tersebut, maka perlu diadakan perubahan-perubahan yang membawa kepada pemerintahan yang baik, yaitu:
1. Terjaminnya ketentraman hidup, harta kehormatan dan warga negara.
2. Peraturan mengenai pemungutan pajak.
3. Peraturan mengenai kewajiban dan lamanya dinas meliter[11].

Selanjutnya dijelaskan bahwa tertuduh akan diadili secara terbuka dan sebelum pengadilan pelaksanaan hukuman mati dengan racun dan jalan lain tidak dibolehkan. Pelanggaran terhadap kehormatan seseorang juga tidak diperkenankan. Hak milik terhadap harta dijamin dan tiap orang mempunyai kebebasan terhadap harta yang dimilikinya. Ahli waris dari yang kena hukuman pidana tidak boleh dicabut haknya untuk mewarisi, dan demikian pula harta yang kena hukuman pidana tidak boleh disita[12].

Melihat muatan Piagam Gulhane ini terlihat adanya usaha pembaharu untuk melakukan rekonsiliasi antar muslim tradisional dengan kemajuan[13], serta institusi-institusi baru yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, bahkan bisa menampung kebutuhan mereka. Menjamin keamanan hidup, ketenangan, jaminan kepemilikan. Satu hal yang penting dalam piagam ini adalah adanya ketentuan bahwa aturan-aturan itu berlaku untuk semua lapisan masyarakat dan semua golongan agama tanpa ada pengecualian. Atas dasar piagam ini, maka terjadi beberapa pembaharuan dalam berbagai institusi kemasyarakan Turki Usmani. Diantaranya dalam bidang hukum dirumuskannya kodifikasi hukum perdata oleh Majelis Ahkam al-Adliyah[14] dan hukum pidana. Sedang dibidang pemerintahan adanya sistem musyawarah dan di bidang pendidikan adanya pemisahan antara pendidikan umum dan agama, serta kekuasaan pendidikan umum dilepaskan dari kekuasaan ulama[15]. Pada masa ini mulai masuk pengaruh sistem pendidikan Barat. Agaknya sejak saat ini pemisahan pendidikan antara hukum dan agama ini berlaku sampai sekarang. Selanjutnya pada tahun 1856 M[16] Sultan Abdul Majid mengumumkan belakunya piagam Humayun yang lebih banyak mengandung pembaharuan terhadap kedudukan orang Eropa dan non muslim yang berada di bawah kekuasaan Turki Usmani,[17] sehingga antara orang Eropa dan rakyat Islam Turki tidak ada perbedaan lagi artinya mereka mempunyai hak yang sama dalam hukum. Walaupun piagam Humayun dikeluarkan untuk memperkuat keberadaan piagam Gulhane, namun jika diperhatikan lebih jauh piagam ini memberikan hak dan jaminan kepada bangsa Eropa untuk semakin memantapkan keberadaan di Turki Usmani. Sikap pro-Barat ini pada akhirnya membawa kelemahan terhadap kerajaan Turki Usmani dalam menghadapi Eropa.

Dapat dipahami bahwa perkembangan tasyri’ pada masa tanzimat di kerajaan Turki Usmani banyak dipengaruhi oleh hukum dari Barat[18], artinya telah bercampur hukum Islam dengan hukum Barat. Sedangkan Piagam Gulhane menyatakan penghargaan tinggi pada

Syari’at Islam tetapi juga mengakui perlunya diadakan sistem baru. Hukum baru yang disusun banyak dipengaruhi oleh hukum Barat. Apalagi piagam Humayun yang secara tegas diperlakukan untuk non Islam dan Eropa. Pada masa ini telah ditetapkan pedoman hakim dalam menetapkan hukum, yaitu dengan dikeluarkannya Undang-undang Dusturiyah pada tahun 1293 H/1877 M. Sehingga terhindar dari hawa nafsu dan keinginan pribadi dalam menetapkan hukum. Dan juga didirikan Mahkamah al-Tamyiz (al-Naqdu) yang merupakan lembaga yang diberi wewenang untuk memecat para qadhi yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum, karena dianggap tidak melaksanakan tugas sesuai yang ditetapkan[19]. Namun pada akhirnya lembaga yang didirikan serta undang-undang yang berlaku sebagaimana mestinya karena ada unsur korupsi dan kolusi dalam pemerintahan. Kondisi ini menjadikan peradilan seperti barang dagangan yang diperjualbelikan.

D. MAJALLAH AL-AHKAM AL-ADLIYAH

Munculnya Majallah al-Ahkam al-Adliyah merupakan bentuk aplikasi dari ide taqnin (kodifikasi hukum) yang muncul pada masa pemerintahan Abu Ja’far al-Mansur ketika masa Daulat Abbasiyah, atas inisiatif dari Ibn Muqaffa’. Namun ide ini belum terwujud karena penolakan dari para ulama seperti Imam Malik dengan alasan, bahwa perbedaan pendapat ulama dalam persoalan furu’ merupakan suatu hal yang positif[20]. Hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an tidak membutuhkan intervensi pemerintahan dalam menetapkannya. Di saat kemajuan kebudayaan Islam, ilmu pengetahuan berkembang pesat yang melahirkan para ilmuan dan imam-imam mazhab yang tersebar di seluruh pelosok daerah, sehingga dalam perkembangan selanjutnya muncul rasa fanatisme mazhab, yang cendrung membawa turunnya semangat ijtihad, kejumudan dan ketertutupan ijtihad. Kondisi ini berimplikasi kepada perbedaan dalam menetapkan hukum karena beragamnya mazhab yang mereka pakai[21].

Berdasarkan kondisi tersebut muncul ide dari Daulah Usmaniyah untuk mewujudkan kodifikasi hukum Islam agar tidak terjadi keberagaman hukum dalam satu perkara pada lembaga peradilan. Pada akhir abad ke-13 H pemerintah Turki Usmani mengeluarkan pemerintah untuk membentuk panitia yang bertugas mengumpulkan ketentuan hukum syara’ terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi yang berkaitan dengan hukum muamalat (perdata). Panitia menetapkan hukum berpegang pada mazhab Hanafi, dengan memperhatikan kemaslahatan umat dan perkembangan zaman tanpa harus terikat dengan pendapat yang kuat dalam mazhab ini[22]. Maksudnya pendapat yang lain juga diperhatikan dalam menetapkan hukum. Panitia yang terdiri dari fuqaha ini melaksanakan tugasnya selama 7 ( tujuh) tahun mulai dari tahun 1280-1293 H / 1869-1876 M. Pada tahun 1293 H/1876 M panitia berhasil merampungkan tugasnya dengan melahirkan peraturan yang bernama Majallah al-Ahkam al-Adliyah yang diundangkan pada tanggal 26 Sya’ban 1293 H, dan bersamaan dengan ketetapan pemerintah Turki Usmani untuk menerapkan majallah ini di pengadilan-pengadilan di Turki dan negeri-negeri yang berada di bawah kekuasaannya, seperti Libanon dan Siria[23]. Peraturan Undang-undang ini terdiri dari 1851 pasal yang berisikan:
1. Muqaddimah, tentang defenisi ilmu fiqh pembahagiannya serta penjelasan kaidah-kaidah fiqhiyah.
2. Bab-bab Muamalah yang dibedakan untuk setiap kitab dan terdiri dari 16 kitab. Pada muqaddimah setiap bab berisikan istilah-istilah fiqh yang berkaitan dengan setiap kitab[24].
Majallah al-Ahkam al-Adliyah merupakan kitab undang-undang perdata pertama yang diambil dari ketentuan-ketentuan Islam, yang berasal dari mazhab Hanafi di samping pendapat lain[25] dengan melihat perkembangan dan kondisi umat[26]. Artinya dalam majallah ini tidak ditemukan perbedaan pendapat sehingga produk hukum yang dihasilkan beragam. Di samping itu juga ada undang-undang lain yang ditetapkan yaitu Undang-undang Keluarga (Qanun al-Ailat) tahun 1326 H. Undang-undang ini khusus menyangkut persoalan pernikahan dan perceraian yang berasal dari mazhab selain Hanafi[27]. Dengan adanya undang-undang ini membawa umat keluar dari taqlid buta, dan tidak hanya terikat dengan satu mazhab. Kodifikasi ini membantu para hakim (qadhi) dalam memutuskan perkara yang dihadapi, sehingga adanya keseragaman hukum dalam satu perkara. Namun kodifikasi ini juga mempunyai kelemahan yang mengakibatkan lemahnya ruh dan semangat ijtihad ulama. Begitu juga kurangnya ketelitian dalam memutuskan perkara, karena mereka sudah dipola dengan acuan yang sudah baku dan adanya keharusan pengawasan terhadap produk hukum yang dihasilkan. Terbatasnya hukum yang ada menyebabkan kurang fleksibel hukum yang dihasilkan, sementara peristiwa kehidupan masyarakat senantiasa berubah.


E. TASYRI’ SETELAH TANZIMAT

Pada akhir periode Turki Usmani, persoalan peradilan semakin banyak dan sumber hukum yang dipegang tidak hanya terbatas pada syari’at Islam saja, tapi juga diambil dari sumber non syari’at Islam, dan pada masa ini banyak muncul lembaga peradilan yang sumber hukumnya saling berbeda, yaitu[28]:
1. Mahkamah al-Thawaif atau Qadha al-Milli, yaitu peradilan untuk suatu kelompok (agama), sumbernya dari agama masing-masing.
2. Qadha al-Qanshuli, yaitu peradilan untuk warga negara asing dengan sumber undang-undang asing tersebut.
3. Qadha Mahkamah Pidana, bersumber dari Undang-undang Eropa.
4. Qadha Mahkamah al-Huquq, (Ahwal al-Madaniyah), mengadili perkara perdata, bersumber dari Majallah al-Ahkam al-Adliyah.
5. Majlis al-Syari’ al-Syarif, mengadili perkara umat Islam khusus masalah keluarga (al-Syakhsyiyah), sumbernya fiqh Islam[29].

Begitu pula dengan pengadilan sudah terdapat Mahkamah Biasa, Banding dan Mahkamah Agung[30]. Dengan demikian kondisi qadha pada masa ini sudah beragam, dan ini merupakan pembaharuan yang dicapai pada periode sebelumnya atau masa tanzimat. Pembaharuan yang diadakan pada masa tanzimat tidak seluruhnya mendapat penghargaan dari pemuka masyarakat Islam, bahkan mendapat kritikan dari para cedikiawan Islam Kerajaan Turki Usmani. Kritikan ini timbul dari tokoh nasionalis Turki, Mustafa Kemal al-Taturk (Bapak Turki)[31], yang dipengaruhi oleh ide golongan nasionalis Turki dan nasionalis Barat. Westernisme, sekularisme[32] dan nasionalisme menjadi pola dan dasar pemikirannya. Ia berpendapat Turki hanya dapat maju dengan meniru Barat. Untuk mencapai ide tersebut, ia memproklamirkan Republik Turki Sekuler tahun 1942M Mustafa Kemal selanjutnya menghilangkan institusi keagamaan dalam pemerintahan dengan menghapuskan Syaik al-Islam, Kementrian Syari’at dan Mahkamah Syari’at serta hukum syari’at dan hukum adat dihapuskan diganti dengan hukum Barat, dalam soal perkawinan diganti dengan hukum Swiss yaitu menurut hukum sipil. Wanita mendapat hak cerai yang sama dengan kaum pria, dan banyak lagi yang sudah diubah menjadi hukum Barat. Mustafa Kemal sebagai seorang nasionalis dan pengagum peradaban Barat tidak menentang Agama Islam, ini terbukti bahwa dalam mengurus persoalan agama diadakan Derpertemen Urusan Agama, dan masih memberikan kebebasan beragama kepada rakyat. Sekolah-sekolah pemerintah untuk mencetak imam dan khatib di Fakultas Illahiyat Istambul sampai saat ini masih eksis. Ia beranggapan agama Islam merupakan agama rasionalis, namun dirusak oleh pemahaman yang sempit, untuk itu perlu disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan Negara Turki. Al-Qur’an perlu diterjemahkan ke dalam Bahasa Turki. Azan harus diberikan dalam bahasa Turki. Azan dalam bahasa Turki ini mulai diterapkan pemakaiannya tahun 1931 M[33].

Modernisme dan westernisme Mustafa Kemal bukanlah bertujuan menghilangkan agama, namun yang dimaksudkan adalah menghilangkan kekuasaan agama dari bidang politik dan pemerintahan tetapi hal ini sangat membawa pengaruh pada perkembangan hukum Islam dan nampaknya sekularisme Mustafa Kemal sangat berpengaruh sampai saat ini.











BAB III


PENUTUP

A. KESIMPULAN

Perkembangan hukum Islam pada masa kerajaan Turki Usmani mengalami dinamika yang beragam pada mula kekuasaan hukum dipegang oleh syari’at Islam yang diintervensi oleh pemerintah. Kemudian perkembangan hukum selanjutnya tidak hanya dipegang oleh syari’at Islam tetapi juga hukum selain Islam yaitu orang non Islam Eropa dan mereka mendapatkan kedudukan yang sama dalam hukum. Ini terjadi pada masa tanzimat, dan pada akhirnya muncul hukum sekuler yang dipelopori oleh Mustafa Kemal yang banyak membawa perubahan dalam syari’at Islam yang kalau diperhatikan ini diwariskan sampai saat sekarang.

B. SARAN

Kami sebagai penyusun dan penulis Makalah ini mohon maaf kepada pembaca karena dalam pengetikan dan penyusunan serta dari segi isi dan bahasa masih ada terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran pembaca untuk kesempurnaan makalah selanjutnya. Untuk perhatiannya kami ucapkan terimakasih.










DAFTAR PUSTAKA

Lois Ma’luf, Al-Munjid fi Lughah wa al- A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq),
_____Kafrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi Islam, jilid III, (Jakarta: Ihktiar Van Hoeve, 1994),
Abdurrahman Ibn Hayyin Abdul Aziz al-Humaidi, Al-qadha wa Nizamuhu fi al-Kitab al-Sunnah, (Kairo: Ma’had al-Mabhas al-Ilah, t.t),
_____Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1993),
Albert Hourani, dkk, (ed), The Midle East, (California: The University of California Press, 1993)
_____Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996)
Albert Hourani, dkk, (ed), The Midle East, (California: The University of California Press, 1993)
_____Su’ud Ibn Ali Duraib, Al-Tanzhim fi Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, (Riyadh: Maktab al-Wazir, 1983)
Abdurrahman, op.cit. h. 302. Muhammad Salam Madkhur, al-Qadha fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Nadhah, t.t)
_____Manna’ al-Qaththan, Tarikh al-Tasyrik al-Islamy, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, t.t)
Ali Haidar, Dar al-Hukkam Syarh Majallah al-Ahkam, jilid I, (Beirut: Dar Maktab ‘Ilmiyah, t.t)
_____Muhammad Ibn Subhi Mahsani, Falsafah Tasyri’ fi al-Islam, alih bahasa Filsafat Hukum Dalam Islam, (Bandung: PT al-Ma’arif, 1981)
Muhammad Salam Madkhur, al-Qadha fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Nadhah, t.t)




[1] Lois Ma’luf, Al-Munjid fi Lughah wa al- A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq), h. 818.
[2] Kafrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi Islam, jilid III, (Jakarta: Ihktiar Van Hoeve, 1994), h. 113. Lihat juga Harun Nasution, Pembaharuan, op.cit., h. 97. Arthur Goldschmidh menuliskan bahwa tanzimat terpusat setidak-tidaknya pada tiga Jumni Nelli Hukum Islam. Vol. VI No. 4. Desember 2006 445 persoalan pokok yaitu: tentang pemilikan tanah, kodifikasi hukum-hukum, dan reorganisasi militer. Lihat Arthur Goldschmidh, A concise History of the Midle East, (USA: Westview Press, 1991), h. 124.
[3] 14 Arthur, Ibid., h. 156.
[4] Tasyri’ Madani, pada masa selanjutnya membawa kepada adanya hukum sekuler, Harun nasution, op.cit., h. 93.
[5] Abdurrahman Ibn Hayyin Abdul Aziz al-Humaidi, Al-qadha wa Nizamuhu fi al-Kitab al-Sunnah, (Kairo: Ma’had al-Mabhas al-Ilah, t.t), h. 298.
[6] Tokoh yang muncul pada masa tanzmat dominan memiliki latar belakang pemikiran Barat, diantaranya, Musytafa Rasyid Pasya (1800-1858 M). Ia mengemukakan kemajuan Turki Usmani harus diupayakan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti orang-orang Eropa. Mahmud Sadik Pasya (1807-1856M) ia mengemukakan kesewenangan pemerintah akan menimbulkan permusuhan di kalangan rakyat. Untuk itu harus dihapuskan. Mustafa Sawi melontarkan ide yang sama dengan Mustaf Rasyid Pasya namun ia menambahkan disamping ilmu-ilmu teknologi harus ada toleransi beragama, adanya kesinambungan budaya lama dan budaya baru serta ada pendidikan pria dan wanita, Ali Pasya dan Fuad Pasya, kedua tokoh ini memunculkan ide dalam hukum yaitu Piagam Humayun, Lihat Syafiq A. Mughni, op.cit., h. 127-128. Lihat juga Ensiklopedi Islam, loc.cit.
[7] Ibid.
[8] Jumni Nelli Hukum Islam. Vol. VI No. 4. Desember 2006 437
[9] Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1993), h. 107-110.
[10] Albert Hourani, dkk, (ed), The Midle East, (California: The University of California Press, 1993), h. 62-68. Lihat juga Abdurrahman, loc.cit.
[11] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 99-100.
[12] Ibid.
[13] Albert Hourani, dkk, (ed), The Midle East, (California: The University of California Press, 1993), h. 63
[14] Kodifikasi ini dikenal dengan Majallah al-Ahkam Al-Adliyah
[15] Albert, op.cit., h. 352. Lihat Harun Nasution, op.cit., h. 101.
[16] Bertepatan dengan tanggal 28 Zulhijjah 1273 H. Abdurrahman Ibn Hayyin Abdul Aziz al-Humaidi, Al-qadha wa Nizamuhu fi al-Kitab al-Sunnah, (Kairo: Ma’had al-Mabhas al-Ilah, t.t), h. 298
[17] Piagam Humayun dikeluarkan atas desakan negara-negara Eropa pada Kerajaan Turki Usmani yang pada waktu itu dalam keadaan lemah dan selalu mengalami kekalahan dalam peperangan. Negara Eropa menjamin keutuhan Kerajaan Turki Usmani kalau mereka diberi hak yang sama dengan orang Islam.
[18] Jumni Nelli Hukum Islam. Vol. VI No. 4. Desember 2006439
[19] Su’ud Ibn Ali Duraib, Al-Tanzhim fi Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, (Riyadh: Maktab al-Wazir, 1983), h. 278.
[20] Abdurrahman, op.cit. h. 302. Muhammad Salam Madkhur, al-Qadha fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Nadhah, t.t), h. 115.
[21] Jumni Nelli Hukum Islam. Vol. VI No. 4. Desember 2006 440
[22] Abdurrahman, loc.cit. Salam Madkhur, op.cit., h. 116.
[23] Manna’ al-Qaththan, Tarikh al-Tasyrik al-Islamy, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, t.t), h. 404.
[24] Diantara kitab tersebut adalah al-Bai’ah, alIijarah, al-Kafalah, al-Hiwalah, al-Rahnu al-Ghasab wa al-Ittilaf, al-Hajru, al-Syirku, al-Wakalah, al-Shulhu wa al-Ibra’, al-Ikrar, al-Da’wa, al-Bayyinat wa al-Taklif, lihat Abdurrahman, loc.cit. Salam Madkhur, loc.cit. Manna Qaththan, loc.cit. Ali Haidar, Dar al-Hukkam Syarh Majallah al-Ahkam, jilid I, (Beirut: Dar Maktab ‘Ilmiyah, t.t). h. 13-17.
[25] Diantara pendapat yang sesuai dengan kondisi ketika itu adalah persoalan al-Hajru diambil dari pendapat Abu Yusuf dan Ibn Hasan al-Syaibani, demikian juga Muhammad Ibn Subhi Mahsani, Falsafah Tasyri’ fi al-Islam, alih bahasa Filsafat Hukum Dalam Islam, (Bandung: PT al-Ma’arif, 1981), h. 71.
[26] Jumni Nelli Hukum Islam. Vol. VI No. 4. Desember 2006 441
[27] Muhammad Salam Madkhur, al-Qadha fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Nadhah, t.t), h. 115.
[28] Duraib, op.cit. h. 284
[29] Jumni Nelli Hukum Islam. Vol. VI No. 4. Desember 2006 442
[30] Ibid., h. 299-384.
[31] Harun Nasution, op.cit., h. 147-152.
[32] Westernisme yaitu proses penyerapan kebudayaan atau adat istiadat (gaya hidup) Barat oleh Timur karena dibawa orang barat yang datang ke timur atau orang-orang Timur yang pernah menetap ke negeri Barat. Sekularisme adalah proses melepaskan diri dari ikatan agama tertentu, namun tidak mutlak berasal dari Barat dan bukan dari syari’at Islam. Adi Gunawan, Kamus Praktis Ilmiah Popular, (Surabaya: Penerbit Kartika, t.t), h. 523 dan 467. Jumni Nelli Hukum Islam. Vol. VI No. 4. Desember 2006 447
[33] Jumni Nelli Hukum Islam. Vol. VI No. 4. Desember 2006 h. 443

Tidak ada komentar: