BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kerajaan Turki Usmani muncul di saat Islam berada dalam era kemunduran
pertama. Berawal dari kerajaan kecil, lalu mengalami perkembangan pesat, dan
akhirnya sempat diakui sebagai negara adikuasa pada masanya dengan wilayah
kekuasaan yang meliputi bagian utara Afrika, bagian barat Asia dan Eropa bagian
Timur. Masa pemerintahannya berjalan dalam rentang waktu yang cukup panjang
sejak tahun 1299 M-1924 M. Kurang lebih enam abad (600 tahun).
Dalam rentang waktu yang demikian panjang kerajaan Turki Usmani mengalami
dinamika yang selalu menghadirkan format dan ciri khas yang baru dalam pemerintahan,
bahkan merupakan penyelamat dan bebas dunia Islam dari kekacauan yang
berkepanjangan terutama di bidang hukum, karena sebagaimana
Diketahui, bahwa pemerintahan Turki Usmani tidak hanya terbatas pada
kekuasaan dan wilayah, tapi juga meliputi bidang agama. Pada periode
berikutnya, kerajaan Turki Usmani yang berpijak kepada Syari’at Islam mulai
bergeser menjadi hukum sekuler, ini terjadi pada akhir abad-19 tepatnya pada
era tanzimat (1839-1876) ketika terjadi persentuhan budaya timur (Islam)
dengan budaya Barat (Eropa). Era tanzimat merupakan gerakan pembaharuan
yang terjadi di Turki Usmani, yang pada hakikatnya berintikan upaya pemerintah
Turki Usmani untuk melakukan perbaikan dalam tata aturan perundangan di segala
bidang, dan salah satu hukum yang disusun Majallah al-Ahkam al-Adliyahi (1876
M) di samping piagam Gulhane dan Humayun. Untuk mengetahui lebih jauh tentang
perkembangan hukum Islam pada masa Turki Usmani makalah sederhana ini mencoba
menguraikan, dengan pokok pembahasan; Sekilas tentang Turki Usmani, Sebelum
Tanzimat, Era Tanzimat, Majallah al-Ahkam al-Adliyah dan sesudah tanzimat.
BAB
II
PEMBAHASAN
TANZIMAT
A. SEKILAS
TENTANG TURKI USMANI
Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz5 yang
mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu lebih
kurang tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka
masuk Islam sekitar abad ke sembilan atau ke sepuluh ketika menetap di Asia
Tengah. Di bawah tekanan serangan-serangan Mongol pada abad ke-13 M bangsa
Turki dengan dipimpin Artogol melarikan diri menuju dinasti Saljuk untuk
mengabdi pada penguasa yang ketika itu dipimpin oleh Sultan Alauddin II.
Artogol dan pasukannya bersekutu dengan pasukan Saljuk membantu Sultan
Alauddin II berperang menyerang Bizantium, dan usaha ini berhasil, artinya
pasukan Saljuk mendapat kemenangan. Atas jasa baiknya itu Sultan Alauddin II
menghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil yang berbatasan dengan Bizantium.
Sejak itu bangsa Turki terus membina wilayah barunya dan memilih Kota Syukud
sebagai ibu kota.
Pada tahun 1289 M Artogol meninggal dunia. Kepemimpinan- nya dilanjutkan
oleh putranya, Usman. Putra Artogol inilah yang dianggap sebagai pendiri
kerajaan Usmani, beliau memerintah tahun 1290 M – 1326 M. Sebagaimana ayahnya,
Usman banyak berjasa pada Sultan Alauddin II, dengan keberhasilannya menduduki
benteng-benteng Bizantium. Pada tahun 1300 M, Bangsa Mongol menyerang kerajaan
Saljuk dan Sultan Alauddin II terbunuh. Kerajaan Saljuk kemudian terpecah-pecah
dalam beberapa kerajaan kecil. Usman pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa
penuh atas daerah yang didudukinya. Sejak itulah kerajaan Turki Usmani dinyatakan
berdiri. Penguasa pertamanya adalah Usman yang sering disebut Usman I. Dalam
perkembangannya, Turki Usmani melewati beberapa periode kepemimpinan. Sejak
berdiri tahun 1299 M yang dipimpin oleh Usman I Ibn Artogol (1299-1326 M)
berakhir dengan Mahmud II Ibn Majib (1918-1922 M). Dan dalam perjalanan sejarah
selanjutnya Turki Usmani merupakan salah satu dari tiga kerajaan besar yang
membawa kemajuan dalam Islam.
B. SEBELUM
TANZIMAT
Sebagai diketahui Kerajaan Turki Usmani dikepalai oleh seorang Sultan yang
mempunyai kekuasaan temporal atau dunia dan kekuasaan spritual atau rohani.
Sebagai penguasa duniawi ia memakai titel Sultan dan sebagai kepala rohani umat
Islam ia memakai gelar Khalifah. Dengan
demikian Raja Usmani mempunyai dua bentuk kekuasaan, kekuasaan memerintah
negara dan kekuasaan menyiarkan dan membela Islam.
Dalam melaksanakan kedua kekuasaan di atas Sultan dibantu oleh dua
pegawai tinggi sadrazam untuk urusan pemerintahan dan syaikh al-Islam
untuk urusan keagamaan. Keduanya tidak mempunyai banayak suara dalam soal
pemerintahan dan hanya melaksanakan perintah Sultan. Dikala Sultan berhalangan
atau berpergian ia digantikan sadrazam dalam menjalankan pemerintahan. Syaikh
al-Islam yang mengurus bidang keagamaan dibantu oleh qadhi askar
al-rumali yang membawahi qadhi-qadhi wilayah Usamniyah bagian Eropa, sedang
qadhi askar anduly membawahi qadhi-qadhi wilayah Usmaniyah di Asia dan
Mesir. Dalam melaksanakan tugasnya para qadhi tersebut merujuk kepada mazhab
Hanafi. Hal ini yang disebabkan mazhab yang dipakai oleh Sultan adalah mazhab
Hanafi. Bentuk-bentuk peradilan pada masa ini :
1.Mahkamah Biasa/Rendah (al-Juziyat), yang bertugas menyelesaikan
perkara-perkara pidana dan perdata.
2.Mahkamah Banding (Mahkamah al-Isti’naf), yang bertugas meneliti
dan mengkaji perkara yang berlaku.
3.Mahkamah Tinggi (Mahkamah al-Tamayz au al-Naqd wa al-Ibram),
yang bertugas memecat para qadhi yang terbukti melakukan kesalahan dalam
menetapkan hukum.
4.Mahkamah Agung (Mahkamah al-Isti’naf al-Ulya), yang langsung di bawah
pengawasan Sultan.
Lembaga peradilan (qadha’) pada masa ini belum berjalan dengan baik,
karena terdapat intervensi dari pemerintah, bahkan sistem peradilan dikuasai
oleh kroni-kroni dan pejabat pemerintah. Jadi belum tampak dengan jelas
pemisahan antara urusan agama dan pemerintahan.
C. MASA
TANZIMAT (1839-1876 M)
Secara etimologi tanzimat berasal dari kata nazhzhama-yunazhzhimu-tanzhimat,
yang berarti mengatur, menyusun, dan memperbaiki[1]. Term
ini dimaksudkan untuk menggambarkan seluruh gerakan pembaharuan yang terjadi di
Turki Usmani pada pertengahan abad ke-19. Gerakan ini ditandai dengan munculnya
sejumlah tokoh pembaharuan Turki Usmani yang belajar dari Barat yaitu bidang
pemerintahan, hukum, administrasi, pendidikan, keuangan, perdagangan dan
sebagainya.[2]
Tanzimat merupakan suatu gerakan pembaharuan sebagai kelanjutan dari
kemajuan yang telah dilakukan oleh Sultan Sulaiman (1520-1566 M) yang
termasyhur dengan nama al-Qanuni. Namun pembaharuan yang sebenarnya
lebih membekas dan berpengaruh pada masa Sultan Mahmud II (1808-1839 M)[3]. Ia
memusatkan perhatiannya pada berbagai perubahan internal diantaranya dalam
organisasi pemerintahan dan hukum. Sultan Mahmud II juga dikenal sebagai Sultan
yang pertama kali dengan tegas mengadakan perbedaan antara urusan agama dan
urusan dunia. Urusan agama diatur oleh syari’at Islam (tasyr’ al-dini) dan
urusan dunia diatur oleh hukum yang bukan syari’at (tasyri’ madani)[4].
Hukum syari’at terletak di bawah kekuasaan syaikh al-Islam, sedangkan
hukum bukan syari’at diserahkan kepada dewan perancang hukum untuk mengaturnya,
hukum yang bukan syari’at ini diadopsi dari Eropa, Perancis dan negeri asing
lainnya. Diantaranya adalah al-Nizham al-Qadha al-Madani (Undang-undang
Peradilan Perdata). Dengan penerapan al-Nizham al-Qadha al-madani (Undang-undang
Peradilan Perdata) dalam peradilan muncul Mahkamah al-Nizhamiyah yang
terdiri dari Qadha al-Madani (Peradilan Perdata) dan Qadha-Syar’i (Peradilan
Agama )[5].
Dikotomi lembaga peradilan pada masa Sultan Mahmud II memberikan indikasi sudah
adanya pemisahan urusan agama dan urusan dunia. Kemunculan tanzimat
dilatarbelakangi oleh[6]:
- Khusus bidang hokum terjadinya persentuhan hokum barat dan hokum islam
- Muncul para tokoh tanzimat yang ingin membatasi kekuasaan Sultan yang absolut[7].
Disamping itu pada masa ini kondisi masyarakat terdiri dari tiga lapisan
yaitu:
- Tradisional, yang mempertahankan dan membangun pemikiran berdasarkan fiqh dan berpijak pada mazhab yang ada. Karena fiqh dianggap telah mapan dan sempurna sehingga mereka berpendapat mazhab ini harus dikembangkan dan disosialisasikan[8].
- Modernisme, yang menawarkan agar fiqh perlu diseleksi dan dikembangkan sesuai dengan kondisi social budaya masyarakat.
- Reformasi, melontarkan gagasan, bahwa fiqh yang ada tidak mampu merespon berbagai perkembangan yang muncul sebagai akses perkembangan zaman dan kebutuhan manusia yang multi dimensionalitas. Oleh karena itu diperlukan fiqh baru, yang menafsirkan nash secara kontekstual[9].
Agaknya keadaan masyarakat ini juga mempengaruhi munculnya pembaharuan
lebih-lebih lapisan modernisme dan reformasi. Realisasi pembaharuan ini dimulai
dengan diumumkannya Piagam Gulhane (Khatt-i Syarif Gulhane) pada tanggal
3 Nopember 1839 M, kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Piagam
Humayun (Khatt-i Syarif al-Humayun) pada tahun 1856 M[10].
Gerakan ini terjadi pada masa Sultan Abdul Majid (1839-1861 M) putra Sultan
Mahmud II. Piagam Gulhane berisikan berbagai bentuk perubahan yang pada masa
permulaan kerajan Turki Usmani, syari’at Islam dan Undang-undang Negara
dipatuhi, sehingga negara menjadi kokoh dan kuat. Untuk kembali pada masa
tersebut, maka perlu diadakan perubahan-perubahan yang membawa kepada
pemerintahan yang baik, yaitu:
1. Terjaminnya ketentraman hidup, harta kehormatan dan warga negara.
2. Peraturan mengenai pemungutan pajak.
3. Peraturan mengenai kewajiban dan lamanya dinas meliter[11].
Selanjutnya dijelaskan bahwa tertuduh akan diadili secara terbuka dan
sebelum pengadilan pelaksanaan hukuman mati dengan racun dan jalan lain tidak
dibolehkan. Pelanggaran terhadap kehormatan seseorang juga tidak diperkenankan.
Hak milik terhadap harta dijamin dan tiap orang mempunyai kebebasan terhadap
harta yang dimilikinya. Ahli waris dari yang kena hukuman pidana tidak boleh
dicabut haknya untuk mewarisi, dan demikian pula harta yang kena hukuman pidana
tidak boleh disita[12].
Melihat muatan Piagam Gulhane ini terlihat adanya usaha pembaharu untuk
melakukan rekonsiliasi antar muslim tradisional dengan kemajuan[13], serta
institusi-institusi baru yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, bahkan
bisa menampung kebutuhan mereka. Menjamin keamanan hidup, ketenangan, jaminan
kepemilikan. Satu hal yang penting dalam piagam ini adalah adanya ketentuan
bahwa aturan-aturan itu berlaku untuk semua lapisan masyarakat dan semua
golongan agama tanpa ada pengecualian. Atas dasar piagam ini, maka terjadi
beberapa pembaharuan dalam berbagai institusi kemasyarakan Turki Usmani.
Diantaranya dalam bidang hukum dirumuskannya kodifikasi hukum perdata oleh Majelis
Ahkam al-Adliyah[14]
dan hukum pidana. Sedang dibidang pemerintahan adanya sistem musyawarah dan di
bidang pendidikan adanya pemisahan antara pendidikan umum dan agama, serta
kekuasaan pendidikan umum dilepaskan dari kekuasaan ulama[15]. Pada
masa ini mulai masuk pengaruh sistem pendidikan Barat. Agaknya sejak saat ini
pemisahan pendidikan antara hukum dan agama ini berlaku sampai sekarang.
Selanjutnya pada tahun 1856 M[16] Sultan
Abdul Majid mengumumkan belakunya piagam Humayun yang lebih banyak mengandung
pembaharuan terhadap kedudukan orang Eropa dan non muslim yang berada di bawah
kekuasaan Turki Usmani,[17]
sehingga antara orang Eropa dan rakyat Islam Turki tidak ada perbedaan lagi
artinya mereka mempunyai hak yang sama dalam hukum. Walaupun piagam Humayun
dikeluarkan untuk memperkuat keberadaan piagam Gulhane, namun jika diperhatikan
lebih jauh piagam ini memberikan hak dan jaminan kepada bangsa Eropa untuk
semakin memantapkan keberadaan di Turki Usmani. Sikap pro-Barat ini pada
akhirnya membawa kelemahan terhadap kerajaan Turki Usmani dalam menghadapi
Eropa.
Dapat dipahami bahwa perkembangan tasyri’ pada masa tanzimat di kerajaan
Turki Usmani banyak dipengaruhi oleh hukum dari Barat[18],
artinya telah bercampur hukum Islam dengan hukum Barat. Sedangkan Piagam
Gulhane menyatakan penghargaan tinggi pada
Syari’at Islam tetapi juga mengakui perlunya diadakan sistem baru. Hukum
baru yang disusun banyak dipengaruhi oleh hukum Barat. Apalagi piagam Humayun
yang secara tegas diperlakukan untuk non Islam dan Eropa. Pada masa ini telah
ditetapkan pedoman hakim dalam menetapkan hukum, yaitu dengan dikeluarkannya
Undang-undang Dusturiyah pada tahun 1293 H/1877 M. Sehingga terhindar
dari hawa nafsu dan keinginan pribadi dalam menetapkan hukum. Dan juga
didirikan Mahkamah al-Tamyiz (al-Naqdu) yang merupakan lembaga yang diberi
wewenang untuk memecat para qadhi yang melakukan perbuatan yang melanggar
hukum, karena dianggap tidak melaksanakan tugas sesuai yang ditetapkan[19]. Namun
pada akhirnya lembaga yang didirikan serta undang-undang yang berlaku
sebagaimana mestinya karena ada unsur korupsi dan kolusi dalam pemerintahan.
Kondisi ini menjadikan peradilan seperti barang dagangan yang diperjualbelikan.
D. MAJALLAH AL-AHKAM
AL-ADLIYAH
Munculnya Majallah al-Ahkam al-Adliyah merupakan bentuk aplikasi
dari ide taqnin (kodifikasi hukum) yang muncul pada masa pemerintahan
Abu Ja’far al-Mansur ketika masa Daulat Abbasiyah, atas inisiatif dari Ibn
Muqaffa’. Namun ide ini belum terwujud karena penolakan dari para ulama seperti
Imam Malik dengan alasan, bahwa perbedaan pendapat ulama dalam persoalan furu’
merupakan suatu hal yang positif[20]. Hukum-hukum
yang terdapat dalam al-Qur’an tidak membutuhkan intervensi pemerintahan dalam
menetapkannya. Di saat kemajuan kebudayaan Islam, ilmu pengetahuan berkembang
pesat yang melahirkan para ilmuan dan imam-imam mazhab yang tersebar di seluruh
pelosok daerah, sehingga dalam perkembangan selanjutnya muncul rasa fanatisme
mazhab, yang cendrung membawa turunnya semangat ijtihad, kejumudan dan
ketertutupan ijtihad. Kondisi ini berimplikasi kepada perbedaan dalam
menetapkan hukum karena beragamnya mazhab yang mereka pakai[21].
Berdasarkan kondisi tersebut muncul ide dari Daulah Usmaniyah untuk
mewujudkan kodifikasi hukum Islam agar tidak terjadi keberagaman hukum dalam
satu perkara pada lembaga peradilan. Pada akhir abad ke-13 H pemerintah Turki
Usmani mengeluarkan pemerintah untuk membentuk panitia yang bertugas
mengumpulkan ketentuan hukum syara’ terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi yang
berkaitan dengan hukum muamalat (perdata). Panitia menetapkan hukum berpegang
pada mazhab Hanafi, dengan memperhatikan kemaslahatan umat dan perkembangan
zaman tanpa harus terikat dengan pendapat yang kuat dalam mazhab ini[22].
Maksudnya pendapat yang lain juga diperhatikan dalam menetapkan hukum. Panitia
yang terdiri dari fuqaha ini melaksanakan tugasnya selama 7 ( tujuh) tahun
mulai dari tahun 1280-1293 H / 1869-1876 M. Pada tahun 1293 H/1876 M panitia
berhasil merampungkan tugasnya dengan melahirkan peraturan yang bernama Majallah
al-Ahkam al-Adliyah yang diundangkan pada tanggal 26 Sya’ban 1293 H, dan
bersamaan dengan ketetapan pemerintah Turki Usmani untuk menerapkan majallah
ini di pengadilan-pengadilan di Turki dan negeri-negeri yang berada di
bawah kekuasaannya, seperti Libanon dan Siria[23].
Peraturan Undang-undang ini terdiri dari 1851 pasal yang berisikan:
1. Muqaddimah, tentang defenisi ilmu fiqh pembahagiannya serta penjelasan
kaidah-kaidah fiqhiyah.
2. Bab-bab Muamalah yang dibedakan untuk setiap kitab dan terdiri dari 16
kitab. Pada muqaddimah setiap bab berisikan istilah-istilah fiqh yang berkaitan
dengan setiap kitab[24].
Majallah al-Ahkam al-Adliyah merupakan kitab undang-undang perdata
pertama yang diambil dari ketentuan-ketentuan Islam, yang berasal dari mazhab
Hanafi di samping pendapat lain[25] dengan
melihat perkembangan dan kondisi umat[26]. Artinya
dalam majallah ini tidak ditemukan perbedaan pendapat sehingga produk
hukum yang dihasilkan beragam. Di samping itu juga ada undang-undang lain yang
ditetapkan yaitu Undang-undang Keluarga (Qanun al-Ailat) tahun 1326 H.
Undang-undang ini khusus menyangkut persoalan pernikahan dan perceraian yang
berasal dari mazhab selain Hanafi[27]. Dengan
adanya undang-undang ini membawa umat keluar dari taqlid buta, dan tidak hanya
terikat dengan satu mazhab. Kodifikasi ini membantu para hakim (qadhi) dalam
memutuskan perkara yang dihadapi, sehingga adanya keseragaman hukum dalam satu
perkara. Namun kodifikasi ini juga mempunyai kelemahan yang mengakibatkan
lemahnya ruh dan semangat ijtihad ulama. Begitu juga kurangnya ketelitian dalam
memutuskan perkara, karena mereka sudah dipola dengan acuan yang sudah baku dan
adanya keharusan pengawasan terhadap produk hukum yang dihasilkan. Terbatasnya
hukum yang ada menyebabkan kurang fleksibel hukum yang dihasilkan, sementara
peristiwa kehidupan masyarakat senantiasa berubah.
E. TASYRI’ SETELAH
TANZIMAT
Pada akhir periode Turki Usmani, persoalan peradilan semakin banyak dan
sumber hukum yang dipegang tidak hanya terbatas pada syari’at Islam saja, tapi
juga diambil dari sumber non syari’at Islam, dan pada masa ini banyak muncul
lembaga peradilan yang sumber hukumnya saling berbeda, yaitu[28]:
1. Mahkamah al-Thawaif atau Qadha al-Milli, yaitu peradilan
untuk suatu kelompok (agama), sumbernya dari agama masing-masing.
2. Qadha al-Qanshuli, yaitu peradilan untuk warga negara asing
dengan sumber undang-undang asing tersebut.
3. Qadha Mahkamah Pidana, bersumber dari Undang-undang Eropa.
4. Qadha Mahkamah al-Huquq, (Ahwal al-Madaniyah), mengadili
perkara perdata, bersumber dari Majallah al-Ahkam al-Adliyah.
5. Majlis al-Syari’ al-Syarif, mengadili perkara umat Islam khusus
masalah keluarga (al-Syakhsyiyah), sumbernya fiqh Islam[29].
Begitu pula dengan pengadilan sudah terdapat Mahkamah Biasa, Banding dan
Mahkamah Agung[30].
Dengan demikian kondisi qadha pada masa ini sudah beragam, dan ini merupakan
pembaharuan yang dicapai pada periode sebelumnya atau masa tanzimat.
Pembaharuan yang diadakan pada masa tanzimat tidak seluruhnya mendapat
penghargaan dari pemuka masyarakat Islam, bahkan mendapat kritikan dari para
cedikiawan Islam Kerajaan Turki Usmani. Kritikan ini timbul dari tokoh
nasionalis Turki, Mustafa Kemal al-Taturk (Bapak Turki)[31], yang
dipengaruhi oleh ide golongan nasionalis Turki dan nasionalis Barat.
Westernisme, sekularisme[32] dan
nasionalisme menjadi pola dan dasar pemikirannya. Ia berpendapat Turki hanya
dapat maju dengan meniru Barat. Untuk mencapai ide tersebut, ia memproklamirkan
Republik Turki Sekuler tahun 1942M Mustafa Kemal selanjutnya menghilangkan
institusi keagamaan dalam pemerintahan dengan menghapuskan Syaik al-Islam,
Kementrian Syari’at dan Mahkamah Syari’at serta hukum syari’at dan
hukum adat dihapuskan diganti dengan hukum Barat, dalam soal perkawinan diganti
dengan hukum Swiss yaitu menurut hukum sipil. Wanita mendapat hak cerai yang
sama dengan kaum pria, dan banyak lagi yang sudah diubah menjadi hukum Barat.
Mustafa Kemal sebagai seorang nasionalis dan pengagum peradaban Barat tidak
menentang Agama Islam, ini terbukti bahwa dalam mengurus persoalan agama
diadakan Derpertemen Urusan Agama, dan masih memberikan kebebasan beragama
kepada rakyat. Sekolah-sekolah pemerintah untuk mencetak imam dan khatib di
Fakultas Illahiyat Istambul sampai saat ini masih eksis. Ia beranggapan
agama Islam merupakan agama rasionalis, namun dirusak oleh pemahaman yang
sempit, untuk itu perlu disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan Negara Turki.
Al-Qur’an perlu diterjemahkan ke dalam Bahasa Turki. Azan harus diberikan dalam
bahasa Turki. Azan dalam bahasa Turki ini mulai diterapkan pemakaiannya tahun
1931 M[33].
Modernisme dan westernisme Mustafa Kemal bukanlah bertujuan menghilangkan
agama, namun yang dimaksudkan adalah menghilangkan kekuasaan agama dari bidang
politik dan pemerintahan tetapi hal ini sangat membawa pengaruh pada
perkembangan hukum Islam dan nampaknya sekularisme Mustafa Kemal sangat
berpengaruh sampai saat ini.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perkembangan hukum Islam pada masa kerajaan Turki Usmani mengalami
dinamika yang beragam pada mula kekuasaan hukum dipegang oleh syari’at Islam
yang diintervensi oleh pemerintah. Kemudian perkembangan hukum selanjutnya
tidak hanya dipegang oleh syari’at Islam tetapi juga hukum selain Islam
yaitu orang non Islam Eropa dan mereka mendapatkan kedudukan yang sama dalam
hukum. Ini terjadi pada masa tanzimat, dan pada akhirnya muncul hukum
sekuler yang dipelopori oleh Mustafa Kemal yang banyak membawa perubahan dalam syari’at
Islam yang kalau diperhatikan ini diwariskan sampai saat sekarang.
B. SARAN
Kami sebagai penyusun dan
penulis Makalah ini mohon maaf kepada pembaca karena dalam pengetikan dan
penyusunan serta dari segi isi dan bahasa masih ada terdapat kesalahan dan
kekurangan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran pembaca untuk
kesempurnaan makalah selanjutnya. Untuk perhatiannya kami ucapkan terimakasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Lois Ma’luf, Al-Munjid fi
Lughah wa al- A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq),
_____Kafrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi
Islam, jilid III, (Jakarta: Ihktiar Van Hoeve, 1994),
Abdurrahman Ibn Hayyin Abdul Aziz
al-Humaidi, Al-qadha wa Nizamuhu fi al-Kitab al-Sunnah, (Kairo: Ma’had
al-Mabhas al-Ilah, t.t),
_____Taufiq Adnan Amal, Islam
dan Tantangan Modernitas Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung:
Mizan, 1993),
Albert Hourani, dkk, (ed), The
Midle East, (California: The University of California Press, 1993)
_____Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996)
Albert Hourani, dkk,
(ed), The Midle East, (California: The University of California Press,
1993)
_____Su’ud Ibn Ali Duraib, Al-Tanzhim
fi Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, (Riyadh: Maktab al-Wazir, 1983)
Abdurrahman, op.cit. h.
302. Muhammad Salam Madkhur, al-Qadha fi al-Islam, (Kairo: Dar
al-Nadhah, t.t)
_____Manna’
al-Qaththan, Tarikh al-Tasyrik al-Islamy, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif,
t.t)
Ali Haidar, Dar
al-Hukkam Syarh Majallah al-Ahkam, jilid I, (Beirut: Dar Maktab ‘Ilmiyah,
t.t)
_____Muhammad Ibn Subhi Mahsani, Falsafah
Tasyri’ fi al-Islam, alih bahasa Filsafat Hukum Dalam Islam, (Bandung:
PT al-Ma’arif, 1981)
Muhammad Salam Madkhur, al-Qadha
fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Nadhah, t.t)
[1] Lois Ma’luf, Al-Munjid fi Lughah wa al- A’lam, (Beirut:
Dar al-Masyriq), h. 818.
[2] Kafrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi Islam, jilid
III, (Jakarta: Ihktiar Van Hoeve, 1994), h. 113. Lihat juga Harun Nasution, Pembaharuan,
op.cit., h. 97. Arthur Goldschmidh menuliskan bahwa tanzimat terpusat
setidak-tidaknya pada tiga Jumni Nelli Hukum Islam. Vol. VI No. 4. Desember
2006 445 persoalan pokok yaitu: tentang pemilikan tanah, kodifikasi
hukum-hukum, dan reorganisasi militer. Lihat Arthur Goldschmidh, A concise
History of the Midle East, (USA: Westview Press, 1991), h. 124.
[3]
14 Arthur, Ibid., h. 156.
[4]
Tasyri’ Madani, pada masa selanjutnya membawa kepada adanya hukum
sekuler, Harun nasution, op.cit., h. 93.
[5] Abdurrahman Ibn Hayyin Abdul Aziz al-Humaidi, Al-qadha
wa Nizamuhu fi al-Kitab al-Sunnah, (Kairo: Ma’had al-Mabhas al-Ilah, t.t),
h. 298.
[6] Tokoh yang muncul pada masa tanzmat dominan memiliki
latar belakang pemikiran Barat, diantaranya, Musytafa Rasyid Pasya (1800-1858
M). Ia mengemukakan kemajuan Turki Usmani harus diupayakan dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi seperti orang-orang Eropa. Mahmud Sadik Pasya
(1807-1856M) ia mengemukakan kesewenangan pemerintah akan menimbulkan
permusuhan di kalangan rakyat. Untuk itu harus dihapuskan. Mustafa Sawi
melontarkan ide yang sama dengan Mustaf Rasyid Pasya namun ia menambahkan
disamping ilmu-ilmu teknologi harus ada toleransi beragama, adanya
kesinambungan budaya lama dan budaya baru serta ada pendidikan pria dan wanita,
Ali Pasya dan Fuad Pasya, kedua tokoh ini memunculkan ide dalam hukum yaitu
Piagam Humayun, Lihat Syafiq A. Mughni, op.cit., h. 127-128. Lihat juga Ensiklopedi
Islam, loc.cit.
[7] Ibid.
[8] Jumni Nelli Hukum Islam. Vol. VI No. 4.
Desember 2006 437
[9] Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas
Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1993), h. 107-110.
[10] Albert Hourani, dkk, (ed), The Midle East, (California:
The University of California Press, 1993), h. 62-68. Lihat juga Abdurrahman, loc.cit.
[11] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 99-100.
[13] Albert Hourani, dkk, (ed), The Midle East, (California:
The University of California Press, 1993), h. 63
[14] Kodifikasi ini dikenal dengan Majallah
al-Ahkam Al-Adliyah
[15] Albert, op.cit., h. 352. Lihat Harun Nasution, op.cit.,
h. 101.
[16] Bertepatan dengan tanggal 28 Zulhijjah 1273 H. Abdurrahman
Ibn Hayyin Abdul Aziz al-Humaidi, Al-qadha wa Nizamuhu fi al-Kitab
al-Sunnah, (Kairo: Ma’had al-Mabhas al-Ilah, t.t), h. 298
[17] Piagam Humayun dikeluarkan atas desakan
negara-negara Eropa pada Kerajaan Turki Usmani yang pada waktu itu dalam
keadaan lemah dan selalu mengalami kekalahan dalam peperangan. Negara Eropa
menjamin keutuhan Kerajaan Turki Usmani kalau mereka diberi hak yang sama
dengan orang Islam.
[18] Jumni Nelli Hukum Islam. Vol. VI No. 4. Desember
2006439
[19] Su’ud Ibn Ali Duraib, Al-Tanzhim fi Mamlakah
al-Arabiyah al-Su’udiyah, (Riyadh: Maktab al-Wazir, 1983), h. 278.
[20] Abdurrahman, op.cit. h. 302. Muhammad Salam
Madkhur, al-Qadha fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Nadhah, t.t), h. 115.
[21] Jumni Nelli Hukum Islam. Vol. VI No.
4. Desember 2006 440
[22] Abdurrahman, loc.cit. Salam Madkhur, op.cit.,
h. 116.
[23] Manna’ al-Qaththan, Tarikh al-Tasyrik
al-Islamy, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, t.t), h. 404.
[24] Diantara kitab tersebut adalah al-Bai’ah,
alIijarah, al-Kafalah, al-Hiwalah, al-Rahnu al-Ghasab wa al-Ittilaf, al-Hajru,
al-Syirku, al-Wakalah, al-Shulhu wa al-Ibra’, al-Ikrar, al-Da’wa, al-Bayyinat
wa al-Taklif, lihat Abdurrahman, loc.cit. Salam Madkhur, loc.cit.
Manna Qaththan, loc.cit. Ali Haidar, Dar al-Hukkam Syarh Majallah
al-Ahkam, jilid I, (Beirut: Dar Maktab ‘Ilmiyah, t.t). h. 13-17.
[25] Diantara pendapat yang sesuai dengan kondisi ketika
itu adalah persoalan al-Hajru diambil dari pendapat Abu Yusuf dan Ibn
Hasan al-Syaibani, demikian juga Muhammad Ibn Subhi Mahsani, Falsafah
Tasyri’ fi al-Islam, alih bahasa Filsafat Hukum Dalam Islam, (Bandung:
PT al-Ma’arif, 1981), h. 71.
[26] Jumni Nelli Hukum Islam. Vol. VI No. 4.
Desember 2006 441
[27] Muhammad Salam Madkhur, al-Qadha
fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Nadhah, t.t), h. 115.
[28] Duraib, op.cit. h. 284
[29] Jumni Nelli Hukum Islam. Vol. VI No. 4. Desember 2006
442
[30] Ibid., h. 299-384.
[31] Harun Nasution, op.cit., h. 147-152.
[32] Westernisme yaitu proses penyerapan kebudayaan atau
adat istiadat (gaya hidup) Barat oleh Timur karena dibawa orang barat yang
datang ke timur atau orang-orang Timur yang pernah menetap ke negeri Barat.
Sekularisme adalah proses melepaskan diri dari ikatan agama tertentu, namun
tidak mutlak berasal dari Barat dan bukan dari syari’at Islam. Adi Gunawan,
Kamus Praktis Ilmiah Popular, (Surabaya: Penerbit Kartika, t.t), h. 523 dan
467. Jumni Nelli Hukum Islam. Vol. VI No. 4. Desember 2006 447
[33] Jumni
Nelli Hukum Islam. Vol. VI No. 4. Desember 2006 h. 443
Tidak ada komentar:
Posting Komentar