Sabtu, 04 Februari 2012

Tafsir Perkawinan


BAB I
PENDAHULUAN
Pemuda dan pemudi pada saat sekarang ini takut kawin karena memikirkan pembangunan rumahtangga sesudah kawin. Sampai ada pepatah Minangkabau: "Beli kuda tidak mahal, yang mahal ialah beli rumput." Ongkos perkawinan tidaklah se besar ongkos belanja setiap hari. Ketika kawin dapatlah diperbantu-bantukan oleh handai-tolan, tetapi setelah rumahtangga berdiri, terserahlah kepada suami-isteri itu sendiri. Hidup sekarang serba mahal. Perasaan hati yang seperti ini ditolak oleh lanjutan ayat: "Jika mereka miskin, Tuhan akan memberinya kemampuan dengan limpah kurniaNya."
Kadang-kadang seorang pemuda berteori, bahwa kalau dia kawin maka hasil pencariannya yang sekarang ini tidaklah akan mencukupi. Padahal setelah diseberanginya akad-nikah perkawinan itu dan dia mendirikan rumah tangga, ternyata cukup juga. Semasa belum kawin, dengan pencarian yang kecil.itu, hidupnya tidak berketentuan, sehingga berapa saja uang yang di­terima habis demikian saja. Tetapi setelah kawin dan dia mendapat teman hidup yang setia, hidupnya mulai teratur dan belanja mencukupi juga.
Kalau masyarakat itu telah dinamai masyarakat Islam, niscaya orang hidup dengan qana'ah, yaitu merasa cukup dengan apa yang ada, tidak terlalu me­nengadahkan kepala, perbelanjaan yang tidak perlu. Perempuan yang men dasarkan hidupnya kepada Islam, bekan kepada kemewahan secara Barat yang terlalu banyak memerlukan belanja ini, akan memudahkan kembali orang mendapat jodoh. Yang dicari pada hakikatnya dalam hidup ini ialah keamanan jiwa. Hidup dalam kesepian tidaklah mendatangkan keamanan bagi jiwa.
Rumahtangga yang tenteram adalah sumber inspirasi untuk berusaha, dan usaha membuka pula bagi pintu rezeki.
وَ اللهُ واسِعٌ عَليم
"Tuhan Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui."
Asal mau berusaha, pintu rezeki akan senantiasa terbuka, bahkan rezeki itu tidaklah berpintu!
BAB II


PEMBAHASAN

Tafsir ayat Perkawinan[1]

A. Anjuran Menikah dan Poligami

Allah SWT berfirman:

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian[2] diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui(32). Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka[3], jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu[4]. dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu[5].(Qs. Al-Baqarah: 32-33)

Asbabun Nuzul Ayat 33

Shubaih hamba sahaya Huwaithib bin Abdul-Uzza, mengajukan permohonan untuk dimerdekakan dengan suatu perjanjian tertentu. Tetapi permohonan itu ditolak. Sehubungan dengan itu, maka Allah SWT. Menurunkan ayat ke-33 sebagai perintah untuk mengabulkan permohonan hanma sahaya yang merdeka dengan perjanjian tertentu. (HR. Ibnu Sikkin dalam kitab Ma’rifatush-Shahabah dari Abdillah bin Shubiah dari Bapaknya).

Abdillah bin Ubayyin menyeru jariyahnya melacur dan meminta bagian dari hasilnya. Sehubungan dengan itu, maka Allah AWT. Menurunkan ayat ke-33 sebagai larangan memaksa jariyah (hamba sahaya wanita) melacurkan diri untuk mengambil keuntungan.

a. Hikmah dibalik Menikah

Islam telah menganjurkan kepada manusia untuk menikah. Dan ada banyak hikmah di balik anjuran tersebut. Antara lain adalah :[6]
a). Menikah Adalah Sunnah Para Nabi dan Rasul
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab. (QS. Ar-Ra’d : 38).
Dari Abi Ayyub ra bahwa r bersabda,”Empat hal yang merupakan sunnah para rasul : [1] Hinna’, [2] berparfum, [3] siwak dan [4] menikah. (HR. At-Tirmizi 1080)

b). Menikah Adalah Bagian Dari ‘Tanda’ Kekuasan Allah SWT.
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. (Q.S. Ar-Ruum:21)

c). Menikah Adalah Salah Satu Jalan Untuk Menjadikan Seseorang Kaya
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur : 32)

d). Menikah Adalah Ibadah Dan Setengah Dari Agama
Dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Orang yang diberi rizki oleh Allah SWT seorang istri shalihah berarti telah dibantu oleh Allah SWT pada separuh agamanya. Maka dia tinggal menyempurnakan separuh sisanya. (HR. Thabarani dan Al-Hakim 2/161).

e). Tidak Ada Pembujangan Dalam Islam
Islam berpendirian tidak ada pelepasan kendali gharizah seksual untuk dilepaskan tanpa batas dan tanpa ikatan. Untuk itulah maka diharamkannya zina dan seluruh yang membawa kepada perbuatan zina.

Tetapi di balik itu Islam juga menentang setiap perasaan yang bertentangan dengan gharizah ini. Untuk itu maka dianjurkannya supaya menikah dan melarang hidup membujang dan kebiri.

Seorang muslim tidak halal menentang pernikahan dengan anggapan, bahwa hidup membujang itu demi berbakti kepada Allah, padahal dia mampu menikah; atau dengan alasan supaya dapat seratus persen mencurahkan hidupnya untuk beribadah dan memutuskan hubungan dengan duniawinya.

Nabi memperhatikan, bahwa sebagian sahabatnya ada yang kena pengaruh kependetaan ini (tidak mau kawin). Untuk itu maka beliau menerangkan, bahwa sikap semacam itu adalah menentang ajaran Islam dan menyimpang dari sunnah Nabi. Justru itu pula, fikiran-fikiran Kristen semacam ini harus diusir jauh-jauh dari masyarakat Islam.
Abu Qilabah mengatakan “Beberapa orang sahabat Nabi bermaksud akan menjauhkan diri dari duniawi dan meninggalkan perempuan (tidak kawin dan tidak menggaulinya) serta akan hidup membujang. Maka berkata Rasulullah s.a.w, dengan nada marah lantas ia berkata: ‘Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur lantaran keterlaluan, mereka memperketat terhadap diri-diri mereka, oleh karena itu Allah memperketat juga, mereka itu akan tinggal di gereja dan kuil-kuil. Sembahlah Allah dan jangan kamu menyekutukan Dia, berhajilah, berumrahlah dan berlaku luruslah kamu, maka Allah pun akan meluruskan kepadamu.

Allah SWT berfirman:

Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[7], Maka (kawinilah) seorang saja[8], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(Qs. An-Nisa’: 3)

Tafsir Mufradat

أَلاَّ تُقْسِطُوا : Tidak dapat berlaku adil.
Adil di sini adalah masalah cinta dan hubungan seksual. Hal ini disebabkan dalam urusan cinta dan hubungan seksual, manusia memang selamanya tidak akan mampu adil. Adapun di luar dua urusan itu, seperti nafkah lahiriah dan sikap yang baik, seorang suami yang melakukan poligami wajib membaginya dengan adil.

Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan:

“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (An-Nisa`: 129)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.”

فَانْكِحُوا : Maka kawinilah; nikahilah.
Nikah adalah termasuk dalam kelompok muamalah atau urusan keduniawian. Kaidah fiqhiyah yang dipergunakan untuk urusan muamalah adalah hukum asal sesuatu itu adalah boleh (A.Rahman, 1976:42-43). Oleh sebab itu, hukum asal dari nikah adalah boleh. Apabila susunan ayat 3 surat al-Nisa’ tersebut dicermati secara utuh, maka hukum asal kawin adalah boleh atau mubah bukan wajib. Menurut Asyathibi, mubah bisa diharamkan jika dilihat dari segi kulli. Hukum mubah bisa berubah menjadi haram apabila perbuatan tersebut akan membawa kemudharatan (Syafe’i,1999:311). Contohnya kawin itu hukumnya haram, jika sipelaku yakin akan berbuat zalim kepada pasangannya, baik suami kepada istri maupun sebaliknya isteri kepada suami. Jika ia khawatir akan menganiaya pasangannya, maka hukumnya makruh tahrim ( Khallaf , 1968:179).[9]

مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النَّسَآء : Perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi; ِapa yang
kamu senangi dari perempuan-perempuan (lain).

مَثْنَى وَ ثُـلَثَ وَ رُبَعَ : Dua, tiga, dan empat. Bukan dua tambah tiga tambah empat.

Lafaz النَّسَآءِ pada ayat itu adalah maushuf nya. Dengan pendekatan shifat maushuf ini, diperoleh pemahaman bahwa jika kamu takut menzalimi atau tidak bisa berbuat adil kepada anak yatim, maka kawinilah perempuan-permpuan (ibu-ibu) yang mempunyai dua, tiga, dan empat anak yatim. (Ghanim, 2004:89-90).

Asbabun Nuzul

Pada waktu itu ada seorang lelaki yang menguasai anak yatim, yang kemudian dikawin. Dia mengadakan perserikatan harta untuk berdagang dengan wanita yatim yang menjadi tanggung jawabnya ini. Oleh sebab itu di dalam perkawinan dia tidak memberi apa-apa dan menguasai seluruh harta perserikatan itu. Sehingga wanita ini tidak mempunyai kekuasaan sama sekali terhadap harta miliknya yang telah diserikatkan. Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan ayat ke-3 sebagai teguran, saran dan peringatan bagi mereka yang menikahi anak-anak yatim.

Tafsir

Ayat ini menjelaskan bahwa seorang laki-laki tidak begitu saja bisa menikahi siapa saja yang diinginkannya dan berapa jumlah yang ia mau, tetapi ada aturan dan ketentuan yang harus diperhatikan dan dipatuhi­nya. Ketentuan itu meliputi: Pertama, larangan meni­kahi anak yatim bila takut tidak akan bisa berlaku adil dalam hal mahar, yaitu tidak dapat memberikan mahar –minimal– sama besarnya dengan mahar perempuan-perempuan lain. Kepada mereka ini dianjurkan memilih untuk menikah dengan perempuan lain saja.

Kedua, seorang laki-laki dihalalkan menikah lebih dari satu orang perempuan, bahkan sampai kepada empat jika ia sanggup untuk mematuhi ketentuan yang ditetapkan. Ketiga, seorang lelaki hanya boleh menikahi satu orang perempuan saja jika ia takut akan berbuat durhaka kalau menikahi lebih dari satu orang. Keempat, seorang lelaki hanya boleh menikahi seorang budak jika ia tidak sanggup menikahi seorang perempuan merdeka, sementara ia sangat memerlukan seorang istri.[10]
Dan jika kamu takut (khawatir) tidak akan bisa berlaku adil terhadap perempuan yatim yang ingin kamu nikahi dalam hal mahar dan nafkah, sehingga kamu takut tidak dapat memberikan haknya sebagai istri sebagaimana mestinya, maka janganlah kamu mengawininya. Allah mem­berikan pilihan lain untukmu, yaitu perempuan-perempuan yang tidak yatim yang dihalalkan bagimu untuk menikahinya, tidak hanya satu, tapi boleh dua, tiga, atau empat.[11]

Menikah lebih dari satu, yang dikenal dengan sebutan poligami, tidak boleh lebih dari empat. Artinya seorang lelaki paling banyak hanya bisa mem­punyai empat istri dalam waktu yang bersamaan. Inilah pendapat yang disepakati oleh ijma’ kaum muslimin. Hal ini dijelaskan pula oleh hadits yang diriwa­yat­kan oleh Imam Malik dalam kitab Muwaththa‘, Nasa‘i dan Daruquthni, dalam Sunannya bahwa: “Nabi berkata kepada Ghailan bin Umayyah Ats-Tsaqafah yang masuk Islam dan ia mempunyai sepuluh orang istri. Nabi bersabda: “Pilihlah empat orang di antara mereka dan ceraikanlah yang lainnya”.

Dan dalam Kitab Abu Daud dari Haris bin Qays, ia berkata: “Saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan istri saya, lalu saya cerita­kan hal itu kepada Nabi SAW, maka beliau ber­sabda: “Pilihlah empat orang di antara mereka”. Adapun kebolehan Nabi berpoligami lebih dari empat bukan didasarkan kepada ayat ini, tetapi pengecualian yang diberikan oleh Allah khusus kepada beliau.

Allah membolehkan berpoligami sampai jumlah empat itu adalah dengan kewajiban berlaku adil di antara mereka dalam berbagai urusan, seperti makan, pakaian, tempat tinggal, dan lain sebagainya tanpa membeda-bedakan antara satu dengan lainnya. Bila sang suami khawatir akan berbuat zalim, tidak dapat memenuhi hak-hak mereka secara adil, maka diharamkan baginya untuk berpoligami.

Bila seorang suami hanya bisa memenuhi hak tiga orang istri, maka haram baginya untuk meni­kahi yang keempat. Jika sanggupnya hanya memenuhi hak dua orang, haram baginya menikahi yang ketiga. Dan bila sanggupnya hanya memenuhi hak satu orang dan ia khawatir akan berbuat zalim kalau menikahi dua orang, maka dia hanya boleh kawin satu saja dan haram menikahi dua orang. Bahkan bagi seorang lelaki yang tidak mampu memenuhi hak seorang perempuan merdeka, maka ia hanya boleh menikah dengan budak kalau memang keadaan memaksa dia untuk menikah. Inilah yang ditegaskan oleh ayat ini.

Dalam satu hadits riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Nasa‘i, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah dijelas­kan bahwa Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang mempunyai dua orang istri, lalu memberatkan salah satunya (tidak berlaku adil), maka ia akan datang di hari kiamat dengan bahu yang miring.”

B. Wanita yang Tidak Boleh Dinikahi

Allah SWT berfirman:

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.(Qs. Al-Baqarah: 221)

Tafsir Ayat : 221

Maksudnya, { وَلاَ تَنْكِحُوْا } "Dan janganlah kamu menikahi" wanita-wanita, { الْمُشْرِكَاتِ } "musyrik" selama mereka masih dalam kesyirikan mereka, { حَتَّى يُؤْمِنَّ } "hingga mereka beriman"; karena seorang wanita mukmin walaupun sangat jelek parasnya adalah lebih baik daripada seorang wanita musyrik walaupun sangat cantik parasnya. Ini umum pada seluruh wanita musyrik, lalu dikhususkan oleh ayat dalam surat al-Maidah tentang bolehnya menikahi wanita ahli Kitab, sebagaimana Allah berfirman,

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerina hukum-hukum Islam). Maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. Al-Maidah : 5)

{ وَلاَ تَنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنَّ } "Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman" Ini bersifat umum yang tidak ada pengecualian di dalamnya. Kemudian Allah menyebutkan hikmah dalam hukum haramnya seorang mukmin atau wanita mukmin menikah dengan selain agama mereka dalam firmanNya, { أُوْلئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ } "Mereka mengajak ke neraka", yaitu, dalam perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, dan kondisi-kondisi mereka. Maka bergaul dengan mereka adalah merupakan suatu yang bahaya, dan bahayanya bukanlah bahaya duniawi, akan tetapi bahaya kesengsaraan yang abadi.

Dapat diambil kesimpulan dari alasan ayat melarang dari bergaul dengan setiap musyrik dan pelaku bid'ah; karena jika menikah saja tidak boleh padahal memiliki maslahat yang begitu besar, maka hanya sebatas bergaul saja pun harus lebih tidak boleh lagi, khususnya pergaulan yang membawa kepada tingginya martabat orang musyrik tersebut atau semacamnya di atas seorang muslim seperti pelayanan atau semacamnya.
Dalam firmanNya, { وَلاَ تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ } "Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)" terdapat dalil tentang harus adanya wali dalam nikah. [ وَاللهُ يَدْعُوا إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ ] "Sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan", maksudnya, menyeru hamba-hambaNya untuk memperoleh surga dan ampunan yang di antara akibatnya adalah menjauhkan diri dari segala siksaan. Hal itu dengan cara mengajak untuk melakukan sebab-sebabnya berupa amal shalih, bertaubat yang sungguh-sungguh, berilmu yang bermanfaat dan mengamalkannya.
{ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ } "Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya)" maksudnya, hukum-hukumNya, dan hikmah-hikmahnya, { لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ } "kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran." Hal tersebut mewajibkan mereka untuk mengingat apa yang telah mereka lupakan dan mengetahui apa yang tidak mereka ketahui serta mengerjakan apa yang telah mereka lalaikan.

Pelajaran dari Ayat :

Diharamkan bagi seorang mukmin menikahi wanita musyrikah, kecuali wanita-wanita Ahli Kitab (baik Yahudi ataupun Nashrani) sebagaimana di nyatakan dalam firman Allah Ta’ala yang tersebut diatas (“…(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik….” (QS. Al-Maidah : 5)), akan tetapi walaupun hal itu dibolehkan yang lebih utama adalah hendaknya seorang mukmin tidak menikah dengan mereka (wanita ahli kitab), karena akan berakibat kepada anak keturunannya (akan mengikuti agama dan akhlak ibunya yang musyrikah), atau bisa jadi berakibat buruk bagi dirinya, karena kecantikan, kecerdasan, atau akhlaknya yang akan menjadikan laki-laki tersebut hilang akal sehingga menyeretnya kepada kekufuran.
Terdapat kaidah ‘Berlakunya sebuah hukum itu tergantung ada atau tidak adanya penyebab’, karena dalam firman Allah “..sebelum mereka beriman..”. Hal ini menunjukkan bahwa ‘Ketika label –musyrikah- pada seseorang telah hilang maka halal dinikahi, dan sebaliknya ketika label –musryikah- masih ada maka haram menikahinya’.
Ayat diatas menunjukkan bahwa seorang suami adalah ‘wali’ bagi dirinya

Diharamkan bagi seorang wanita muslimah menikah dengan seorang kafir secara mutlaq tanpa terkecuali. Baik dari Ahli Kitab dari lainnya, dalam firman Allah yang lain ditegaskan : “…. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka….” (QS. Al-Mumtahanah : 10)

Syarat adanya seorang wali bagi seorang wanita ketika menikah, sebagaimana firmanNya “…Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman…”, ayat tersebut ditujukan untuk para wali bagi wanita mukminah, dengan demikian tidak sah hukumnya menikah tanpa wali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan dalam sabda beliau, “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali”, dalam hadits shahih riwayat Abu Daud beliau bersabda, “Wanita mana saja yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya batal, batal, batal (3x).”

Ancaman terhadap berkasih sayang bersama orang-orang musyrik, bergaul atau bercampur bersama mereka. Karena mereka mengajak kepada kekufuran dengan prilaku, ucapan dan perbuatan mereka dengan demikian berarti mereka mengajak kepada neraka.
Wajibnya ber-muwaalah (berkasih sayang, setia) dengan orang-orang mukmin karena mereka mengajak ke surga, dan ber-mu’aadah (memusuhi, benci) terhadap pelaku kekufuran dan kesesatan karena mereka mengajak ke neraka.

Ayat tersebut menunjukkan bahwa orang mukmin adalah lebih baik dari pada orang musyrik, walaupun musyrik tersebut memilki sifat-sifat yang menakjubkan.
Menunjukkan bahwa keutamaan manusia adalah berbeda-beda, dan tidaklah mereka pada derajat yang sama.

Ayat tersebut merupakan BANTAHAN bagi orang-orang yang mengatakan bahwa, “Sesungguhnya Agama Islam adalah ‘Dinun musaawah’ (Agama kesetaraan)”, dan yang mengherankan juga bahwa lafadz ‘AL-MUSAAWAAH’ tidaklah ada penetapannya didalam al-Qur’an ataupun as-Sunnah, dan Allah Ta’ala juga tidak memerintahkan hal tersebut, tidak pula menganjurkannya. Karena, jika engkau paksakan juga dengan lafadz ‘Al-Musaawah’(kesetaraan), maka tentulah akan setara antara yang fasiq, adil, kafir, dan mukmin, dan setara antara laki-laki dan wanita; itulah yang yang diinginkan oleh musuh-musuh Islam terhadap kaum muslimin. Akan tetapi Islam telah mendatangkan kalimat yang tepat, yang lebih baik dari kalimat ‘al-Musaawah’ dan tidak pula mengandung dugaan-dugaan makna atau maksud yang bermacam-macam, yaitu lafadz AL-‘ADL Allah berfirman : {إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ } yang artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil…” (QS. An-Nahl : 90), kalimat Al-‘Adl maksudnya adalah menyamakan antara dua hal yang semisal, dan membedakan antara dua hal yang berbeda. Karena ‘Al-‘Adl adalah memberikan segala sesuatu sesuai haknya. Yang jelas bahwa kalimat AL-MUSAAWAH adalah kalimat yang dimasukkan oleh musuh-musuh Islam terhadap kaum muslimin; yang mana kebanyakan kaum muslimin, khususnya muslim yang memiliki Tsaqafah ‘Amah (perpengetahuan umum), mereka tidak memiliki kejelian atau pandangan yang tajam terhadap suatu perkara, tidak pula membedakan antara isthilah yang satu dengan yang lainnya, sehingga didapati penilaian atau prasangka terhadap kalimat –almusawaah- tersebut seolah-olah kalimat yang bercahaya diatas slogan ‘Islam adalah dinun musaawah (Agama kesetaraan)’. Maka dalam hal ini Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan (ketika menafsirkan ayat tersebut diatas dalam kitabnya) “Kalaulah engkau katakan, ‘Islam adalah Dinul ‘Adl’ (Islam adalah Agama yang adil) maka hal itu lebih utama dan sangat sesuai dengan realita Islam”.

Allah SWT berfirman:

Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).(22) Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[12]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(23) Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki[13] (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian[14] (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu[15]. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.(Qs. An-Nisa’:22-24)

Asbabun Nuzul An-Nisa’: 22-24

Pada suatu ketika Abu Qais bin Aslat salah seorang sahabat Anshar yang shalih-meninggal dunia dengan meninggalkan seorang istri. Anaknya yang bernama Qais berkeinginan untuk menikahi ibu tirinya, janda dari ayahnya itu. Ketika ada pembicaraan tentang keinginannya itu si ibu tiri berkata: “Aku telah menganggapmu sebagai seorang anak sendiri, dan kamu adalah termasuk dalam golongan kaum yang saleh”. Setelah itu janda Abu Qais dating menghadap kepada Rasulullah SAW untuk mengadukan masalahnya tersebut. Sehubungan dengan itu Rasulullah SAW bersabda: “Pulanglah kamu ke rumahmu!”. Sehubungan dengan peristiwa itu Allah SWT menurunkan ayat ke-22 yang dengan tegas melarang mengawini ibu tiri, janda ayah kandung sendiri.(HR. Ibnu Abi Hatim, Faryabi dan Thabrani dari Adiyyi bin Tsabit dari seorang sahabat Anshar)


Ayat ke-23

Diturunkan sehubungan dengan pernikahan Rasulullah SAW dengan janda anak angkatnya, ZAid bin Haritsah. Pada suatu ketika Ibnu Juraij pernah mengajukan pertanyaan kepada Atha tentang latar belakang turunnya ayat ke23. ‘Atha mengatakan: “ Pernah kami perbincangkan masalah turunnya ayat ke-23 sehubungan degan pernikahan Rasulullah SAW dengan janda Zaid bin Haritshah, yang Zaid adalah putra angkat Rasulullah SAW. Oleh karena itu orang-orang yahudi mengunjing pernikahan Rasulullah SAW ini, sehingga turunlah ayat ke-40 dari surat al-Ahzab yang berbunyi: maa kaana muhammadin abaa-ahadin….= Bukanlah Muhammad ayah dari seseorang…. Dan ayat ke-4 dari surah al-Ahzab yang berbunyi: wamaa ja’al ad’iyaa-akum abnaa-akum…= Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri)…., yang pada dasarnya memberikan ketegasan tentang halalnya menikah janda anak angkatnya. Alhasil menikahi bekas istri anak angkat adlah dibolehkan oleh ajaran islam. (HR. Ibnu Jarir dari Ibnu Jurij)

Ayat ke-24

Ayat ke-24 diturunkan sehubungan dengan kemenangan kaum muslimin dalam peperangan Hunain. Pada peperangan tersebut kaum muslimin banyak mendapatkan tawanan perang berupa wanita-wanita ahli kitab, yaotu dari kalangan orang-orang Nasrani dan Yahudi. Ketika wanita-wanita itu akan dicampuri oleh orang-orang yang menawannya, mereka menolak dengan alasan masih bersuami. Oleh sebab itu kaum muslimin mengajukan pernyataan tentang masalah ini kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW memberikan jawaban atas dasar ayat ini, yang ayat ini baru saja diturunkan oleh Allah SWT. Di dalam ayat ayat ini ditegaskan, bahwa mereka itu tidak halal untuk digauli sebagaimana lazimnya suami istri  oleh pemiliknyha. Sebab mereka masih mempunyai suami sah. (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas)

a. Wanita-wanita yang dilarang dinikahi

Wanita-wanita yang dilarang dinikahi ada dua macam : Wanita yang dilarang dinikahi selama-lamanya, dan wanita yang dilarang dinikahi hingga waktu tertentu. Kelompok yang pertama ada tujuh orang karena hubungan nasab, yaitu:

[1]. Ibu dan seterusnya ke jalur atas
[2]. Anak wanita dan seterusnya ke jalur bawah
[3]. Saudara wanita seayah seibu atau seibu atau seayah
[4]. Anak wanita istri (anak tiri)
[5]. Anak wanita saudara
[6]. Bibi dari garis ayah
[7]. Bibi dari garis ibu

Dalam pengharaman mereka, adalah firman Allah. "Artinya : Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian".. Dan seterusnya [An-Nisa : 23]

Diharamkan pula yang seperti kedudukan mereka ini karena hubungan penyusuan, yang didasarkan kepada sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, "Diharamkan karena penyusuan seperti yang diharamkan karena nasab".

Adapun wanita yang haram dinikahi karena hubungan perbesanan adalah.

[1]. Ibu istri dan seterusnya ke jalur atas
[2]. Anak-anak wanita mereka dan seterusnya ke jalur bawah jika istri sudah disetubuhi.
[3]. Istri-istri bapak, kakak dan seterusnya ke jalaur atas
[4]. Istri-istri anak laki-laki dan seterusnya ke jalur bawah

Diharamkan pula yang seperti mereka karena penyusuan. Dalilnya adalah firman Allah : "Ibu istri-istri kalian".[An-Nisa : 23]

Adapun wanita-wanita yang dilarang dinikahi hingga waktu tertentu, yaitu saudara wanita istri, bibinya dari garis ayah dan ibu, istri kelima laki-laki merdeka yang sudah memiliki empat istri, wanita pezina yang sudah bertaubat, wanita yang sudah ditalak tingga hingga dia menikah dengan laki-laki lain, wanita ihram hingga dia menyelesaikan ihramnya, wanita pada masa iddah hingga habis masa iddahnya.

Selain yang disebutkan ini halal dinikahi, sebagaimana firman Allah ketika menyebutkan wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi.

"Artinya : Dan, dihalalkan bagi kalian selain yang demikian".[An-Nisa : 24]

Dalam dua hadits berikut dalam bab ini disebutkan isyarat sebagian yang disampaikan diatas.

"Artinya : Dari ummu Habibah binti Abu Sufyan Radhiyallahu anhuma bahwa dia berkata, "Wahai Rasulullah, nikahilah saudaraku wanita, putri Abu Sufyan". Beliau bertanya : "Apakah engkau menyukai hal itu?" Dia menjawab, "Ya. Aku tidak merasa keberatan terhadap engkau dan aku menyukai orang-orang yang bersekutu denganku dalam kebaikan, yaitu saudariku sendiri". Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya yang demikian itu tidak diperbolehkan bagiku". Ummu Habibah berkata, "Kami mendengar bahwa engkau hendak menikahi puteri Abu Salamah". Beliau betanya, "Putri Abu Salamah?" Aku berkata, "Ya". Beliau bersabda, "Sekiranya dia bukan anak tiriku yang kubesarkan di dalam rumahku, dia tetap saja tidak halal bagiku. Dia juga putri saudara sesusuanku karena aku dan Abu Salamah sama-sama menyusu kepada Tsuwaibah. Karena itu janganlah engkau menawarkan lagi kepadaku putri-putri kalian dan tidak pula saudara-saudara wanita kalian". Urwah berkata, "Tsuwaibah adalah budak Abu Lahab. Dulu Abu Lahab memerdekakan dirinya, lalu dia menyusui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika Abu Lahab hendak meninggal, sebagian keluarganya melihatnya dalam kondisi yang lemah. Dia bertanya, "Apa yang engkau temukan ?" Abu Lahab menjawab, "Aku tidak menemukan kebaikan sesudah kalian. Hanya saja aku pernah disusui budak yang kumerdekakan ini, yaitu Tsuwaibah".

BAB III

PENUTUP

Apabila poligami diibaratkan obat, maka ia hanya boleh diminum oleh orang yang memerlukannya. Ia tidak boleh diminum oleh sembarang orang, apalagi sekedar coba-coba atau kesenangan belaka. Karena itulah, Islam memperbolehkan poligami hanya kepada mereka yang mampu melaksanakannya dengan benar, dan dalam kondisi tertentu. Poligami merupakan solusi bagi permasalahan riel bagi masyarakat yang menginginkan hidup secara bersih, baik lahir maupun batin.
Syariat yang suci ini datang dengan membawa sesuatu yang di dalamnya terkandung kebaikan dan kemaslahatan, memerangi segala sesuatu yang di dalamnya terkandung kerusakan dan mudharat. Di antaranya, ia menyuruh kepada cinta dan kasih sayang, melarang pemutusan hubungan, permusuhan dan kebencian
Ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mempebolehkan poligami karena kemaslahatan, ketika beberapa wanita berhimpun menjadi istri seorang lelaki, maka tidak jarang terjadi permusuhan dan kebencian di antara mereka, yang pangkalnya adalah kecemburuan. Karena itulah beliau melarang poligami di antara kerabat, khawatir akan terjadi permusuhan hubungan diantara kerabat.
Beliau melarang dua bersaudara dinikahi, begitu pula bibi dari pihak ayah dengan putri saudara laki-laki, putri saudara wanita dengan bibi dari pihak ibu dan lain-lainnya, yang sekiranya salah satu di antara keduanya diberi anak laki-laki dan yang lain wanita, maka diharamkan pernikahan dengannya menurut perhitungan nasab.
Hadits ini menjadi pengkhususan dari keumuman firman Allah, "Dan, dihalalkan bagi kalian selain yang demikian". Kita sudah mendapatkan kejelasan hukum-hukumnya sehingga tidak perlu lagi rinciannya, karena toh maknanya sudah jelas dan tidak lagi umum.














DAFTAR PUSTAKA


______Kitab Ulum al-Qur’an  dan Tafsir-nya:
Abu Hafsh Usamah b. Kamal b. ‘Abd al-Razzaq, Panduan Lengkap Nikah dari “A” sampai “Z”. Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2006.
­­______Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1999.
Syarifuddin, Amir. Garis-garis Besar Fiqh. Jakarta: Prenada Media, 2005.
______Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2006.
Majalah Asy Syari’ah, Vol. IV/No. 38/1429H/2008, Kategori: Niswah, hal. 80-85. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=617)



[1] Pemakalah adalah Mahasiswa/i Jurusan Pendidikan Agama Islam semester v
[2] Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.
[3] Salah satu cara dalam agama Islam untuk menghilangkan perbudakan, Yaitu seorang hamba boleh meminta pada tuannya untuk dimerdekakan, dengan Perjanjian bahwa budak itu akan membayar jumlah uang yang ditentukan. Pemilik budak itu hendaklah menerima Perjanjian itu kalau budak itu menurut penglihatannya sanggup melunasi Perjanjian itu dengan harta yang halal.
[4] Untuk mempercepat lunasnya Perjanjian itu hendaklah budak- budak itu ditolong dengan harta yang diambilkan dari zakat atau harta lainnya.
[5] Maksudnya: Tuhan akan mengampuni budak-budak wanita yang dipaksa melakukan pelacuran oleh tuannya itu, selama mereka tidak mengulangi perbuatannya itu lagi.
[6] Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1999. h. 98
[7] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[8] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
[9] Syarifuddin, Amir. Garis-garis Besar Fiqh. Jakarta: Prenada Media, 2005.h. 36
[10] Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2006. h. 77
[11] Abu Hafsh Usamah b. Kamal b. ‘Abd al-Razzaq, Panduan Lengkap Nikah dari “A” sampai “Z”. Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2006.h. 45
[12] Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama Termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.
[13] Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya.
[14] Ialah: selain dari macam-macam wanita yang tersebut dalam surat An Nisaa' ayat 23 dan 24.
[15] Ialah: menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali maskawin yang telah ditetapkan.

Putusnya Perkawinan Menurut Islam


BAB II

 

PEMBAHASAN

PUTUSNYA PERKAWINAN


1. Arti Perceraian
Perceraian dalam istilah ahli Figh disebut “talak” atau “furqah”. Talak berarti membuka ikatan membatalkan perjanjian, sedangkan “furqah” berarti bercerai (lawan dari berkumpul). Lalu kedua kata itu dipakai oleh para ahli Figh sebagai satu istilah, yang berarti perceraian antara suami-isteri.
Perkataan talak dalam istilah ahli Figh mempunyai dua arti, yakni arti yang umum dan arti yang khusus. Talak dalam arti umum berarti segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri. Talak dalam arti khusus berarti perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami.
Karena salah satu bentuk dari perceraian antara suami-isteri itu ada yang disebabkan karena talak maka untuk selanjutnya istilah talak yang dimaksud di sini ialah talak dalam arti yang khusus.
Meskipun Islam menyukai terjadinya perceraian dari suatu perkawinan. Dan perceraian pun tidak boleh dilaksanakan setiap saat yang dikehendaki. Perceraian walaupun diperbolehkan tetapi agama Islam tetap memandang bahwa perceraian adalah sesuatu yang bertentangan dengan asas – asas Hukum Islam.
2. Sebab-sebab Putusnya Hubungan Perkawinan
Yang menjadi sebab putusnya perkawinan ialah[1]:
1. Talak
2. Khulu’
3. Syiqaq
4. Fasakh
5. Ta’lik talak
6. Ila’
7. Zhihar
8. Li’aan
9. Kematian
2.1. Talak
            Talak berasal dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya “ melepaskan atau meniggalkan”. Menurut istilah syara’, talak yaitu: Melepaskan tali perkawinan dan mengakhirkan hubungan suami istri.
Al-Jaziry mendefenisikan:
Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu.
2.1.1. Hak Talak
Hukum Islam menentukan bahwa hak talak adalah pada suami dengan alasan bahwa seorang laki-laki itu pada umumnya lebih mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu daripada wanita yang biasanya bertindak atas dasar emosi. Dengan pertimbangan yang demikian tadi diharapkan kejadian perceraian akan lebih kecil, kemungkinannya daripada apabila hak talak diberikan kepada isteri. Di samping alasan ini, ada alas an lain yang memberikan wewenang/hak talak pada suami, antara lain:
a. Akad nikah dipegang oleh suami. Suamilah yang menerima ijab dari pihak isteri waktu dilaksanakan akad nikah.
b. Suami wajib membayar mahar kepada isterinya waktu akad nikah dan dianjurkan membayar uang mu’tah (pemberian sukarela dari suami kepada isterinya) setelah suami mentalak isterinya.
c. Suami wajib memberi nafkah isterinya pada masa iddah apabila ia mentalaknya.
d. Perintah-perintah mentalak dalam Al-Quran dan Hadist banyak ditujukan pada suami.


2.1.2. Syarat-syarat menjatuhkan Talak
Seperti kita ketahui bahwa talak pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan/dibenarkan, maka untuk sahnya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu ada pada suami, isteri, dan sighat talak.
a. Syarat-syarat seorang suami yang sah menjatuhkan talak ialah:
  1. Berakal sehat
  2. Telah baliqh
  3. Tidak karena paksaan
Para ahli Fiqh sepakat bahwa sahnya seorang suami menjatuhkan talak ialah telah dewasa/baliqh dan atas kehendak sendiri bukan karena terpaksa atau ada paksaan dari pihak ketiga. Dalam menjatuhkan talak suami tersebut harus dalam keadaan berakal sehat, apabila akalnya sedang terganggu. Misalnya: orang yang sedang mabuk atau orang yang sedang marah tidak boleh menjatuhkan talak. Mengenai talak orang yang sedang mabuk kebanyakan para ahli Fiqh berpendapat bahwa talaknya tidak sah, karena orang yang sedang mabuk itu dalam bertindak adalah di luar kesadaran. Sedangkan orang yang marah kalau menjatuhkan talak hukumnya dalah tidak sah. Yang dimaksud marah di sini ialah marah yang sedemikian rupa, sehingga apa yang dikatakannya hamper-hampir di luar kesadarannya.
b. Syarat-syarat seorang isteri supaya sah ditalak suaminya ialah:
  1. Isteri telah terikat denagn perkawinan yang sah dengan suaminya. Apabila akad-nikahnya diragukan kesahannya, maka isteri itu tidak dapat ditalak oleh suaminya.
  2. Isteri harus dalam keadaan suci yang belum dicampuri oleh suaminya dalam waktu suci itu.
  3. Isteri yang sedang hamil.
c. Syarat-syarat pada sighat talak
Sighat talak ialah perkataan/ucapan yang diucapkan oleh suami atau wakilnya di waktu ia menjatuhkan talak pada isterinya. Sighat talak ini ada yang diucapkan langsung, seperti “saya jatuhkan talak saya satu kepadamu”. Adapula yang diucapkan secara sindiran (kinayah), seperti “kembalilah ko orangtuamu” atau “engkau telah aku lepaskan daripadaku”. Ini dinyatakan sah apabila:
  1. Ucapan suami itu disertai niat menjatuhkan talak pada isterinya.
  2. Suami mengatakan kepada Hakim bahwa maksud ucapannya itu untuk menyatakan talak kepada isterinya. Apabila ucapannya itu tidak bermaksud untuk menjatuhkan talak kepda isterinya maka sighat talak yang demikian tadi tidak sah hukumnya.
Mengenai saat jatuhnya talak, ada yang jatuh pada saat suami mengucapkan sighat talak (talak “munziz”) dan ada yang jatuh setelah syarat-syarat dalam sighat talak terpenuhi (talak “muallaq”).
2.1.3. Macam-macam Talak
a.   Talak raj’i adalah talak, di mana suami boileh merujuk isterinya pada waktu iddah. Talak raj’i ialah talak satu atau talak dua yang tidak disertai uang ‘iwald dari pihak isteri.
b.   Talak ba’in, ialah talak satu atau talak dua yang disertai uang ‘iwald dari pihak isteri, talak ba’in sperti ini disebut talak ba’in kecil. Pada talak ba’in kecil suami tidak boleh merujuk kembali isterinya dala masa iddah. Kalau si suami hendak mengambil bekas isterinya kembali harus dengan perkawinan baru yaitu dengan melaksanakan akad-nikah. Di samping talak ba’in kecil, ada talak ba’in besar, ialah talak yang ketiga dari talak-talak yang telah dijatuhkan oleh suami. Talak ba’in besar ini mengakibatkan si suami tidak boleh merujuk atau mengawini kembali isterinya baik dalam masa ‘iddah maupun sesudah masa ‘iddah habis. Seorang suami yang mentalak ba’in besar isterinya boleh mengawini isterinya kembali kalau telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Isteri telah kawin dengan laki-laki lain.
2.      Isteri telah dicampuri oleh suaminya yang baru.
3.      Isteri telah dicerai oleh suaminya yang baru.
4.      Talah habis masa ‘iddahnya.
c.   Talak sunni, ialah talak yang dijatuhkan mengikuti ketentuan Al-Quran dan Sunnah Rasul. Yang termasuk talak sunni ialah talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan suci dan belum dicampuri dan talak yang dijatuhkan pada saat isteri sedang hamil. Sepakat para ahli Fiqh, hukumnya talak suami dalah halal.
d.   Talak bid’i, ialah talak yang dijatuhkan dengan tidak mengikuti ketentuan Al-Quran maupun Sunnah Rasul. Hukumnya talak bid’i dalah haram. Yang termasuk talak bid’i ialah:
1.      Talak yang dijatuhkan pada isteri yang sedang haid atau datang bulan.
2.      Talak yang dijatuhkan pada isteri yang dalam keadaan suci tetapi telah dicampuri.
3.      Talak yang dijatuhkan dua sekaligus, tiga sekaligus atau mentalak isterinya untuk selama-lamanya.


Hukum menjatuhkan talak
Menjatuhkan talak tanpa alasan dan sebab yang dibenarkan adalah adalah termasuk perbuatan tercela, terkutuk, dan dibenci oleh Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda.
“Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah ialah menjatuhkan Talak”
Dan juga istri yang meminta talak kepada suaminya tanpa sebab dan alasan yang dibenarkan adalah perbuatan tercela, sebagai sabda Rasulullah SAW,
“ Manakala istri menuntut cerai dari sumaminya tanpa alasan, maka haram baginya bau surga”
Para fuqaha berbeda pendapat tentang hokum asal menjatuhkan talak oleh suami. Yang paling tepat di antara pendapat itu adalah ialah pendapat yang menyatakan bahwa suami diharamkan menjatuhkan talak kecuali dalam keadaan darurat (terpaksa). Pendapat itu dikemukakan oleh ulama Hanafiyah dan Hanabilah.
Talak menjadi wajib bagi suami atas permintaan istri dalam hal suami tidak mampu menunaikan hak-hak istri serta menunaikan kewajibannya sebagai suami
Talak itu diharamkan jika dengan talak itu kembali suami berlaku serong, baik dengan bekas istrinya ataupun dengan wanita lain, suami diharamkan menjatuhkan talak jika hal itu mengakibatkan terjatuhkanya suami ke dalam perbuatan haram.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa talak tanpa sebab adalah makruh hukumnya, berdasarkan hadits yang menetapkan bahwa talak merupakan jalan yang halal yang palng dibenci oleh Allah, yakni dibenci jika tidak sebab yan dibenarkan, sedangkan Nabi menamakannya halal (tidak haram), juga karena talak itu menghilangkan perkawinan yan di dalamnya terkandung kemaslahatan-kemaslahatan yang dusunatkan, sehingga talak itu hukumnya makruh.
Talak itu mubah hukumnya (dibolehkan) ketika ada keperluan untuk itu, yakni karena jeleknya prilaku istri,
Talak disunatkan jika istri rusak moralnya, berbuat zina,atau melanggar larangan-larangan agama dan kewajiban agamanya.
Hikmah talak
Beberapa hikmah dari talak yaitu:
1. kemandulan. Kalau seorang laki-laki mandul, maka ia tidak akan mempunyai anak padahal anak merupakan keutamaan perkawinan. Begitu pula dengan perempuan.
2. terjadinya perbedaan dan pertentangan kemarahan dan segala yang mengingkari cinta di antara suami istri.
2.2. Khuluk
Talak khuluk atau talak tebus ialah bentuk perceraian atas persetujuan suami-isteri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan khuluk itu.
Adanya kemungkinan bercerai dengan jalan khuluk ini ialah untuk mengimbangi hak talak yang ada pada suami. Dengan khuluk ini si isteri dapat mengambil inisiatif untuk memutuskan hubungan perkawinan dengan cara penebusan. Penebusan atau pengganti yang diberikan isteri pada suaminya disebut juga dengan kata “iwald”.
Dasar hokum disyari’atkannya khulu’ ialah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 229:
ß,»n=©Ü9$# Èb$s?§sD ( 88$|¡øBÎ*sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& 7xƒÎŽô£s? 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 Ÿwur @Ïts öNà6s9 br& (#räè{ù's? !$£JÏB £`èdqßJçF÷s?#uä $º«øx© HwÎ) br& !$sù$sƒs žwr& $yJŠÉ)ムyŠrßãm «!$# ( ÷bÎ*sù ÷LäêøÿÅz žwr& $uKÉ)ムyŠrßãn «!$# Ÿxsù yy$oYã_ $yJÍköŽn=tã $uKÏù ôNytGøù$# ¾ÏmÎ/ 3 y7ù=Ï? ߊrßãn «!$# Ÿxsù $ydrßtG÷ès? 4 `tBur £yètGtƒ yŠrßãn «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqãKÎ=»©à9$# ÇËËÒÈ  
229.  Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya[2]. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.
Hukum khulu’
Khulu’ itu wajib dilakukan ketika permintaan istri karena suami tidak mau memberikan nafkah atau menggauli istri, sedangkan istri menjadi tersiksa. Khulu’ itu haram hukumnya jika dimaksudkan untuk menyengsarakan istri dan anak-anaknya. Khulu’ itu dibolehkan (mubah) ketika ada keperluan yang membolehkan istri menempuh jalan ini. Khulu’ menjadi makruh hukumnya jika tidak ada keperluan untuk itu, dan menjadi sunnat hukumnya jika dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan yang lebih memadai bagi keduanya.
Hikmah khulu’
Al-Jurjawi[3] menuturkan: khulu’ sendiri sebenarnya dibenci oleh syari’at yang mulia seperti halnya talak. Semua akal dan perasaan sehat menolak khlu’, hanya saja Allah Yang Maha Bijaksana memperbolehkannya untuk menolak bahaya ketika mampu menegakkan hokum-hukum Allah SWT. Allah berfirman: Surah An-Nisa’: 21
y#øx.ur ¼çmtRräè{ù's? ôs%ur 4Ó|Óøùr& öNà6àÒ÷èt/ 4n<Î) <Ù÷èt/ šcõyzr&ur Nà6ZÏB $¸)»sVÏiB $ZàÎ=xî ÇËÊÈ